Kekerasan Seksual Urutan Ketiga di Sulsel, DP3A Dalduk KB Beberkan Pelakunya Orang Dekat

Editor: Saldy Irawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ILUSTRASI - Kasat Reskrim Polres Pelabuhan Makassar, Iptu Theodorus Echeal didampingi Paur Subbag Humas IPTU Tumiar, menggelar konfrensi Pers pengungkapan kasus dugaan pencabulan atau kekerasan seksual terhadap bocah 6 tahun oleh Polres Pelabuhan Makassar, Selasa (11/2/2020).

TRIBUN-TIMUR.COM,MAKASSAR - Sepanjang tahun 2020, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3A Dalduk KB) Sulawesi Selatan (Sulsel), mencatat sebanyak 365 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.

Sementara secara keseluruhan, jumlah kasus kekerasan di Sulsel sepanjang tahun ini yakni 1594.

Kepala Dinas P3A Dalduk KB Sulsel Fitriah Zainuddin, mengatakan kasus kekerasan ini rata - rata terjadi di lingkungan keluarga dan tempat umum.

Menurut Fitirah, kasus kekerasan seksual ini, berada di urutan ketiga dari rekap kasus kekersan terhadap perempuan.

“Kasus kekerasan seksual berada diurutan ketiga, sedangkan urutan pertama itu yakni kekerasan fisik. Kasus fisik rata rata kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga,” kata Fitriah, pada acara refleksi akhir tahun di Hotel Remcy Makassar, Kamis (17/12).

Refleksi ini mengusung tema Menelisik Fenomena Meningkatnya Kekerasan Perempuan dan Anak di Sulsel.

Menurutnya, kekerasan seksual ini diduga akibat pergaulan bebas, atau tidak adanya pengawasan orangtua terhadap anaknya.

Selain itu, Fitriah juga mengungkapkan dari total kasus kekerasan, tercatat kekerasan terhadap perempuan yang banyak mengalami kekerasan yakni 1.277 kasus.

Angka ini kontras dengan jumlah korban kekerasan yang dialami laki-laki yang hanya berjumlah 333 saja.

Dari keseluruhan kasus tersebut, kota Makassar menjadi kota yang memiliki kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang mencapai 978 Kasus.

Selanjutnya Kota Pare Pare dengan jumlah kasus 112 kasus, serta terakhir kabupaten Gowa dengan jumlah kasus sebesar 68 kasus.

Ia menuturkan kekerasan terhadap perempuan ini ditenggarai oleh adanya beban ganda selama pandemic covid 19.

"Meningkatnya jumlah kasus kekerasan perempuan di masa depan itu karena adanya beban ganda, itu karena seringnya interaksi dan seringnya pertemuan antara keluarga sehingga terjadi kekerasan" kata Fitiriah.

Kasus kekerasan yang terjadi terhadap perempuan dan anak di Sulsel, mayoritas pelaku ternyata merupakan orang yang memiliki hubungan dekat dengan korban.

"Karena interaksi yang sering bagi itu-itu saja sehingga tidak ada aktivitas lain ini barangkali yang perlu digunakan masyarakat lainnya untuk bagaimana mengolah keluarga dan dan rumah tangganya itu dalam hal pengasuhan dan membentuk suatu sistem yang ada di rumah tangga kita." imbuhnya.

Libatkan Kemenag

Ditempat yang sama, Kepala UPT Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) Sulsel Meisy Papayungan, menyebutkan untuk penanganan kekerasan terhadap perlindungan perempuan dan anak, akan melakukan pendekatan spritual.

Tentunya hal ini akan melakukan kerjasama dengan pihak Kementerian Agama (Kemenag) untuk melakukan pembinaan atau pembelajaran parenting terhadap mereka yang mengurus surat pernikahan.

"Kita mau kerjasama dengan Kemenag setiap orang mengurus menikah itu harus sebelum keluar surat nikahnya harus disentuh dengan pembelajaran keluarga sehingga dia merasakan bagaimana menjadi orang tua yang memiliki ilmu parenting yang tinggi karena ini bagus untuk ketahanan keluarga" katanya.

Selain itu juga akan dilakukan sosialisasi ke sekolah, dan komunitas.

Ia menambahkan keluarga khususnya orangtua harus melakukan pengawasan terhadap anaknya, dan mengetahui sama siapa mereka bergaul. (*)

Berita Terkini