Uji klinis fase I adalah uji yang digunakan untuk melihat keamanan yang melibatkan sekitar 50-100 orang. Jika fase I ini lulus, baru lanjut ke uji berikutnya.
Adapun uji klinis fase II melibatkan lebih banyak orang yakni sekitar 100-400 orang.
“Ini untuk melihat efektivitas vaksin baru itu. Dia menghasilkan kekebalan enggak.
Kalau yang diujikan di fase II obat, benar enggak dia menyembuhkan.
Fase II termasuk melihat efek samping,” ujar Bambang.
Sementara, fase III melihat khasiat, efektivitas, dan reaksi atau efek samping yang muncul.
Adapun partisipan yang diuji lebih banyak yakni 500-1.000 atau 2.000 orang.
Ia menyebut, jika fase ketiga lulus maka selanjutnya akan lanjut ke tahap perizinan regulator masing-masing negara.
Di Indonesia, melalui BPOM untuk mendapat izin edar di masyarakat.
Saat beredar di masyarakat, penggunaannya juga tetap dimonitor.
Ia menyebut, dari keseluruhan uji, jika salah satu uji mengalami kegagalan, maka uji harus diulang dari tahap awal.
“Baik di praklinis atau uji fase satu dan dua. Kalau gagal, diulang semua.
Artinya, obat enggak layak,” kata Bambang.
Mengenai efek samping pada relawan jika uji klinis ini gagal, Bambang mengatakan, tak ada efek apa pun.
“Ya enggak (ada efek). Paling enggak ada respona (kekebalan). Kan keamanan sudah diuji di fase I, II, juga sudah diuji di binatang,” ujar Bambang.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kenapa Vaksin Virus Corona dari China Diuji di Indonesia? Ini Penjelasan Bio Farma"