Kepala Bidang Analisis Varibilitas Iklim BMKG Indra Gustari memaparkan, Luwu Utara termasuk salah satu dari 30 persen daerah Indonesia yang masih mengalami hujan.
Saat 60 persen wilayah Indonesia sudah memasuki musim kemarau.
Data Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menunjukkan bahwa hujan lebat mengguyur Luwu Utara pada 12 Juli dan 13 Juli.
Banjir bandang itu datang pada 13 Juli pukul 19.30 Wita.
Sebenarnya, curah hujan yang menyebabkan Luwu Utara terendam banjir bukan hanya curah hujan pada tanggal itu saja.
Melainkan juga curah hujan pada hari-hari sebelumnya.
Kepala Pusat Penginderaan Jarak Jauh LAPAN, Rokhis Khomaruddin memaparkan adanya perubahan tutupan lahan yang terlihat di Daerah Aliran Sungai (DAS) Balease, Rongkong, dan Amang San Ang.
Di kawasan itu, ada penurunan hutan primer sekitar 29 ribu hektare.
Terdeteksi pula lewat citra Landsat pada 2010 dan 2020.
Adanya peningkatan pertanian lahan basah sekitar 10.595 hektare dan peningkatan lahan perkebunan seluas 2.261 hektare.
"Secara daya dukung lingkungan, perubahan tutupan lahan ini masih bukan faktor utama penyebab bencana banjir yang terjadi," kata Rokhis.
Selain karena alih fungsi lahan dari hutan ke non hutan, banjir ini juga dipengaruhi curah hujan dan longsor pada kawasan Rongkong, Radda, dan Masamba.
Kepala Bidang Mitigasi Gerakan Tanah PVMBG Agus Budianto menjelaskan, kontribusi kestabilan lereng yang terganggu sejak jauh-jauh hari sebelum banjir terjadi.
Rekomendasi PVMBG, pertama batasi permukiman di jalur sungai dan membatasi wilayah-wilayah di mulut lembah.
Kedua tanami tanaman berakar kuat untuk mencegah erosi.