Oleh: Dr. Naidah Naing, ST., MSi, IAI
(Dosen Arsitektur UMI, Peneliti dan Pemerhati Danau Tempe, Anggota Dewan Kehormatan Ikatan Arsitek Indonesia Sulsel, Anggota Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia, Anggota Forum Dosen Majelis Tribun Timur).
Danau tempe adalah salah satu yang termasuk dalam 15 Danau Prioritas Nasional yang akan di revitalisasi karena memiliki kondisi rusak atau terancam.
Indonesia memiliki 840 danau besar dan 753 danau kecil. Sebagian besar di antaranya ‘sakit parah’ bahkan menuju kehancuran permanen.
Berbagai hal yang saling terintegrasi sebagai penyebab kehancuran permanen dari sebuah danau, baik diakibatkan oleh faktor alam maupun faktor perilaku manusia itu sendiri dalam memperlakukan danau, baik secara kolektif melalui kebijakan maupun secara individual dalam bentuk perilaku-perilaku ketidakpedualian (ignorant).
Akibatnya terjadi kemunduran fungsi danau yang sesungguhnya. Salah satu danau yang dianggap “sakit parah’ yang ada di Sulawesi Selatan adalah Danau Tempe.
Padahal Danau Tempe dengan luas sekitar 13.000 ha memiliki berbagai potensi, paling dominan adalah potensi perikanan, perkebunan/pertanian, potensi pariwisata dan potensi sumberdaya airnya.
Beberapa puluh tahun lalu, danau ini sangat terkenal sebagai sumber ikan air tawar terbesar di dunia dan dikenal sebagai mangkuk ikannya Indonesia karena di dasar danau terdapat banyak sumber makanan ikan.
• Cara Menanam Pakcoy di Polybag, Sayuran Sawi yang Mirip Sendok
Selain itu para pelancong mancanegara akan tergila-gila mengunjungi Danau Tempe dengan pemandangan rumah mengapungnya yang sangat unik dan eksotik.
Namun sekarang, dengan berbagai permasalahan yang di derita Danau Tempe seperti pendangkalan danau yang diakibatkan oleh sedimentasi yang terus menumpuk dari tahun ke tahun.
Permasalahan hilangnya potensi ikan endemik yang menjadi ciri khas ikan air tawar, produksi ikan yang terus menurun dari tahun ke tahun, dan permasalahan banjir, telah menyebabkan Danau Tempe lambat laun kehilangan fungsi dan jati diri.
Bahkan suatu saat Danau Tempe hanya jadi tinggal kenangan.
Apalagi sekarang, ditengah bencana pandemi Covid-19 yang melanda dunia, Danau Tempe kembali meluap, meluberkan airnya ke mana-mana dan menggenangi ratusan bahkan ribuan rumah di berbagai kecamatan di tiga kabupaten sekitarnya.
Minsdet Bencana ke Mindset Ekspektasi
Ibarat manusia, Danau Tempe ini telah jatuh bangun mempertahankan diri dalam menghadapi semua cobaan hidup, situasi sulit/buruk dan bencana, namun tetap mampu bertahan dengan segala kemampuan adaptasi yang dimiliki (resilience).
Bencana kekeringan, angin kencang, dan banjir silih berganti menggerogoti danau ini.
Bentuknya yang seperti Cawan (mangkuk) di tengah pulau Sulawesi, merupakan tempat bermuaranya beberapa anak sungai dari berbagai kabupaten di Sekitarnya.
Situasi buruk dan sulit dihindari yang sering terjadi di Danau Tempe adalah saat melimpahnya air danau Tempe akibat kiriman air dalam debit besar yang melebihi ambang batas daya tampung danau dari beberapa anak sungai yang bermuara di Danau Tempe.
• 8 Tempat Ini Dilarang Simpan Ponsel, Bisa Pengaruhi Kesuburan Hingga Meningkatkan Risiko Kanker
Akibatnya air meluap dan menggenangi kawasan yang ada disekitar Danau Tempe. Kondisi ini dikenal dengan istilah banjir, dan ini telah terjadi selama puluhan tahun.
Ratusan bahkan ribuan rumah warga akan terendam air selama berbulan-bulan. Ratusan hektar sawah dan kebun akan tenggelam. Masyarakat tentu saja mengalami kerugian materil.
Menurut kaca mata orang lain yang berada di luar kawasan danau Tempe, ini adalah bencana nasional. Semua stasiun televisi lokal dan nasional serta berbagai koran lokal dan nasional, baik cetak dan online, memberitakan tentang bencana banjir ini.
Banyak yang prihatin, banyak yang memberi bantuan materi, dan juga bantuan lainnya.
Pada Mei 2020 lalu hingga sekarang, Danau Tempe kembali meluap dan menenggelamkan beberapa pemukiman dan lahan pertanian warga.
Tapi benarkah banjir ini merupakan sebuah bencana bagi masyarakat yang ada di Danau Tempe dan sekitarnya?
Benarkan banjir di Danau Tempe ini menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi masyarakat sekitar?
Atau bisa jadi banjir ini adalah sebuah harapan atau kondisi yang ditunggu-tunggu untuk dapat mengeksploitasi semua sumber daya perikanan yang ada di Danau Tempe?
Buktinya, masyarakat yang bermukim di sekitar Danau Tempe tak ada satupun yang mengeluh tentang banjir yang terjadi hampir setiap tahun ini.
Tidak ada masyarakat yang ramai-ramai beranjak berpindah tempat tinggal ataupun protes kepada pemerintah akan kondisi banjir yang tiap tahun mereka alami.
Bahkan beberapa tahun lalu penulis pernah melakukan penelitian tentang Indentifikasi Kawasan Rawan Bencana Banjir di Kabupaten Wajo.
• Bupati Enrekang Siapkan Insentif Bagi Tenaga Medis
Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya kecenderungan masyarakat untuk tetap mempertahankan permukimannya pada kawasan rawan banjir di sekitar Danau Tempe dibanding harus berpindah tempat tinggal yang rencana telah disiapkan pemerintah, pada kawasan lain yang bebas banjir.
Ketergantungan mata pencaharian di danau (aspek ekonomi) dengan segala aspek sejarah, sosial dan budaya di Danau Tempe yang telah terbentuk secara alamiah, menjadi alasan masyarakat tidak ingin move on dari Danau Tempe.
Setiap kali banjir, ratusan rumah warga yang terdampak. Tak ada satupun rumah di sekitar kawasan ini yang lolos dari genangan.
Rata-rata setiap tahun sekitar 4000-an warga yang terdampak banjir di Wajo.
Belum lagi warga lain yang terdapat di kabupaten Soppeng dan Sidrap yang secara administratif Danau Tempe berada pada ketiga Kabupaten ini.
Namun wilayah terbesar dari danau Tempe ini berada di Kabupaten Wajo. Ketinggian banjir rata-rata 3 meter bahkan mencapai atap rumah panggung.
Bagi masyarakat yang terkena dampak, banjir yang terjadi tidak lagi dianggap sebagai sebuah bencana tahunan, tapi justru dianggap sebuah anugerah dari Allah SWT.
Ini karena sudah menjadi habit (kebiasaan). Kebiasaan yang terjadi terus-menerus pada kehidupan mereka akhirnya membentuk karakter.
Karakter bertahan, karakter beradaptasi secara sosial, budaya, ekonomi dan fisik saat permukiman mereka tenggelam oleh banjir telah berhasil mempertahankan peradaban masyarakat di atas air selama puluhan tahun.
Dengan karakter yang sudah terbiasa menghadapi banjir selama bertahun-tahun, telah mampu merubah mindset mereka dari mindset bencana menjadi mindset ekseptasi.
• Unissula Semarang Terima Maba S2 Magister Kenotariatan Kelas Makassar
Betapa tidak, berpuluh tahun masyarakat yang terdampak ini telah belajar memahami tanda-tanda alam akan kedatangan banjir, berpuluh tahun masyarakat belajar dari alam cara mengatasi permasalahan sosial, ekonomi dalam situasi banjir.
Berpuluh tahun pula masyarakat terus belajar beradaptasi dan berinovasi mempersiapkan rumah dan lingkungan permukimannnya menjadi tempat tinggal yang tetap layak dan tetap nyaman dalam kondisi banjir.
Salah satunya dengan meninggikan lantai rumah, membuat lantai gantung cadangan di dalam rumah (Bugis: Panrung) sampai dengan mempersiapkan plafon sebagai lantai pertahanan terakhir jika banjir sudah mencapai atap rumah.
Dalam kondisi banjir, yang dalam kaca mata orang di wilayah lain itu dianggap kondisi kemalangan atau bencana, justru masyarakat di sekitar Danau Tempe ini bersikap biasa saja.
Mereka tetap santai dalam melakukan kegiatan menghuni, kegiatan sosial (sekolah, beribadah, bersosialisasidll), dan tetap melakukan kegiatan ekonomi seperti biasa sesuai dengan daya bertahan dan daya adaptasi mereka.
Selain bencana banjir, kondisi kekeringan panjang sering pula melanda kawasan Danau Tempe.
Kekeringan yang terjadi di Danau Tempe akan membuat danau ini kering kerontang tanpa menyisakan setetes airpun.
• Luncurkan Program Sejuta Masker di Gowa, Mendagri: Tidak Ada Alasan Tidak Patuh
Sepanjang mata memandang hanya ada rumput dan Tanah kering merekah. Habitat ikan-ikan telah lenyap entah kemana.
Kondisi ini pernah berkali-kali terjadi di Danau Tempe. Masyarakat yang sebelumnya berprofesi sebagai Nelayan, secara otomatis berubah mata pencaharian sebagai petani palawija musiman.
Danau akan berubah menjadi kawasan perkebunan jagung dan sayur-sayuran yang sangat luas dengan produksi yang sangat melimpah.
Namun saat musim penghujan kembali datang, Danau Tempe akan dengan mudahnya terisi air kembali.
Hal ini sebuah realitas yang telah dipahami bersama oleh masyarakat dan pemerintah terkait bahwa kondisi kering dan banjir hanyalah sebuat akibat dari sebuah sebab sedimentasi yang telah bertumpuk selama puluhan tahun yang mengakibatkan pendangkalan.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah terkait dalam mengatasi berbagai permasalahan fisik, permasalahan perikanan dan permasalahan lain di Danau Tempe.
Pemerintah Kabupaten Wajo sebagai pengelola terbesar berdasarkan batas administratif diantara Kabupaten Soppeng dan Sidrap, telah melakukan berbagai upaya seperti pengerukan dasar danau yang telah berlangsung selama kurun waktu 2017 hingga 2019.
Upaya itu menggunakan bantuan biaya pusat yang bersumber dari APBN, yang berfungsi untuk mengurangi sedimentasi yang di klaim sebagai penyebab pendangkalan.
Selain itu juga dibangun Bendung Gerak yang berfungsi untuk menjaga kestabilan tinggi air agar tetap bisa digunakan sebagai kawasan budi daya ikan air tawar dan sebagai sumber air baku bagi masyarakat Wajo.
Namun sampai sejauh ini semua upaya yang telah dilakukan tidak dapat mengendalikan luapan air secara signifikan, jika air yang datang melebihi ambang batas kapasitas danau.
Itulah realitas dari kondisi danau tempe yang ada sekarang ini. (*)