Kolom Klakson

Masjid dan Masker

Editor: Jumadi Mappanganro
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Abdul Karim

Tetapi khatib bukanlah penjual obat yang setiap gerak bibirnya menakjubkan orang-orang.

Khatib bukanlah tukang sulap yang gerak tangannya selalu menjadi titik fokus orang-orang di hadapannya.

Jamaah siang itu justeru tak memandang ke arah sang khatib. Sebagian hanya duduk memandangi lantai masjid.

Sebagian yang lain malah terkantuk-kantuk. Meski begitu, sang khatib tetap menyebut jamaah sebagai orang bertaqwa.

4 Juni, Pasien Covid di Sulsel Tambah 54, dari Makassar 43 Orang

"Yang hadir pada kesempatan ini adalah golongan orang-orang yang bertaqwa. Kita hanya wajib takut pada Allah, bukan pada wabah", kata sang khatib.

Tampaknya Sang khatib lupa, bahwa taqwa bukan soal ketakutan dan menakut-nakuti. Tetapi taqwa adalah soal mutu keimanan.

Ia juga mengutarakan bagaimana Corona melahirkan kejanggalan; pasar dan mal tak ditutup, namun masjid dianjurkan dikunci.

Terdengar irama cemburu pada ujaran itu. Ibadah dibatasi, belanja dibiarkan.

Khatib cerdas ini lupa bahwa masjid adalah tempat suci. Ia tak boleh kotor oleh wabah. Ia harus bersih dari virus.

Membandingkannya dengan mal dan pasar sungguh juga sebuah kejanggalan berfikir.

Apalagi, mal dan pasar menyediakan bahan-bahan kebutuhan pokok--termasuk masker. Sementara masjid menyediakan tempat wudhu untuk ibadah.

Artinya, pasar menyajikan bahan energi untuk tubuh, masjid menyediakan bahan energi untuk ruh.

Full Online, Penerimaan Peserta Didik Baru Kota Makassar Dimulai 22 Juni

Bagi pasar untuk kekuatan jasmaniah, bagi masjid untuk kekuatan ruhaniah. Jadi, tak usah mempertentangkan keduanya.

Barangkali sang khatib prihatin, sebab iklan masker lebih menggoda dibanding panggilan bersalat yang berkumandang di menara masjid.

Lalu, cemooh sunyi terdengar di sudut masjid; "kelak, masker jauh lebih banyak jumlahnya masuk surga dibanding ummat".

Halaman
123

Berita Terkini