Oleh: Aswar Hasan
Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin
Dalam kitab Ihya Ulumuddin Hojjatul Islam Imam Al Gazali berfatwa bahwa “Sesunggunya rakyat rusak, karena rusaknya penguasa dan penguasa rusak, karena rusaknya ulama. Sedangkan ulama rusak, karena cinta harta dan kedudukan.”
Sebagai bangsa yang berpenduduk muslim terbesar, kita patut bersyukur karena masih memiliki ulama yang tidak mudah diombang ambing oleh penguasa.
Ulama kita yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang terbentuk sejak didirikan 26 Juli 1975 seharusnya bisa mewarisi semangat keulamaan yang pernah diwariskan oleh Buya Hamka.
Buya Hamka mengatakan bahwa para ulama pengurus MUI adalah penerus perjuangan ulama-ulama terdahulu.
• Bupati Adnan Tegaskan Penerapan PSBB Gowa Sudah Sesuai Aturan
• UNM Mulai Transfer Kuota Internet ke Mahasiswa
Atas ajakan pemerintah untuk berpartisipasi dalam pembangunan, memberikan nasihat kepada pemerintah diminta atau tidak diminta.
Buya Hamka pun menjelaskan betapa beratnya pekerjaan amar ma’ruf nahi munkar yang harus ditegakkan oleh para ulama.
“Amar ma’ruf nahi munkar adalah pekerjaan yang sungguh-sungguh berat. Menyebut mudah, melaksanakannya sangat sukar. Kalau iman tidak kuat gagallah usaha kita,” kata Hamka.
Buya Hamka pun mengurai makna QS Ali Imran ayat 110: “Kamu adalah yang sebaik-naik umat yang dimunculkan Tuhan untuk manusia, (karena) kamu menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah yang munkar dan kamu beriman kepada Allah.
Menurut Hamka, dalam ayat tersebut, ada tiga unsur kemerdekaan yang jadi syarat mutlak bagi kemuliaan suatu umat.
Pertama, kemerdekaan menyatakan pendapat (amar ma’ruf). Kedua, kemerdekaan mengritik yang salah (nahyi munkar).
Pada kalimat ma’ruf terkandunglah opini publik. Artinya, pendapat umum yang sehat dan pada kalimat munkar terdapat pula arti penolakan orang banyak atas yang salah.
Oleh sebab itu, maka amar ma’ruf nahyi munkar maksudnya ialah membina pemikiran yang sehat dalam masyarakat.
Ketiga yang utama adalah iman kepada Allah. Itulah yang menjadi dasar utama.
“Artinya, kalau iman telah berkurang, telah muram, kita tidak berani lagi ber-amar ma’ruf dan lebih tidak berani lagi ber-nahyi munkar. Kalau kita beriman, kita tidak takut ber-amar ma’ruf nahyi munkar,” papar Hamka.
Hamka pun mengibaratkan ulama-ulama yang tergabung dalam MUI laksana 'kue bika' yang dipanggang dari atas dan bawah.
Dari bawah dinyalakan api. Itulah berbagai keluhan masyarakat terhadap pemerintah. Dari atas dihimpit api pula.
Demikian ulasan Adian Husaini dalam tulisannya tentang kesejatian Ulama Buya Hamka ketika menjadi Ketua MUI.
• Keterlaluan! Pura-pura Kena Corona, Perempuan Ini Prank Teman dan Dua Rumah Sakit di Bone
• Mahasiswa Unhas yang Tewas di Lantai 2 Masjid Hobi Ternak Sapi
Dalam pada itu, ketika 32 Dewan Pimpinan MUI provinsi se-Indonesia melayangkan pernyataan sikap yang ditujukan kepada pemerintah adalah wujud komitmen keulamaan dalam menjaga umat (rakyat Indonesia).
Berikut, pernyataan sikap 32 Dewan Pimpinan MUI Provinsi se-Indonesia secara lengkap:
Berdasarkan pembukaan UUD tahun 1945 bahwa peran, fungsi dan tanggung jawab pemerintah negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum.
Maka setelah mencermati dan menganalisis kebijakan Menteri Perhubungan (Menhub) yang kontradiktif dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), dengan ini kami menyatakan sikap sebagai berikut:
Pertama, mendesak kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk menolak masuknya tenaga kerja asing (TKA) khususnya yang berasal dari negara China dengan alasan apapun juga.
Karena TKA dari China adalah transmitor utama Virus Corona Desease 2019 (Covid-19) yang sangat berbahaya dan mematikan.
Kedua, meminta dengan tegas kepada Presiden Republik Indonesia untuk membatalkan kebijakan Menteri Perhubungan yang membuka dan melonggarkan moda transportasi dalam semua matra baik darat, laut maupun udara sebelum penyebaran dan penularan Covid-19 ini benar-benar dapat terkendali dan bisa menjamin tidak akan ada lagi penularan baru.
Ketiga, memerintahkan kepada seluruh jajaran Dewan Pimpinan MUI pada semua tingkatan (kabupaten, kota, kecamatan dan kelurahan/ desa/ nagari) dalam masa pandemi Covid-19 ini, untuk mengawasi dan mengawal wilayahnya masing-masing dari keberadaan TKA.
Jika ditemukan TKA maka segera melaporkannya kepada lembaga pemerintah terkait agar supaya mereka dapat dipulangkan ke negara asalnya.
Keempat, Dewan Pimpinan MUI seIndonesia mendesak kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk tetap konsisten dan berkomitmen dalam menegakkan Pancasila dan UUD tahun 1945 dalam setiap kebijakannya.
Kami pun bertekad akan senantiasa menjadi garda terdepan dalam mengawal dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kelima, mendesak kepada presiden, para menteri, para gubernur, para bupati dan para walikota se-Indonesia untuk senantiasa mengedepankan sikap serta semangat nasionalisme dan patriotisme dalam memimpin negeri tercinta Indonesia.
Sehingga NKRI tetap utuh, maju dan bersatu selama-lamanya.
Demikian pernyataan sikap kami, semoga pemerintah Indonesia memperhatikan sikap kami ini sambil bertawakkal kepada Allah Subhanahu Wata'ala. Billahi Taufik Walhidayah.
Menanggapi sikap Dewan Pimpinan Wilayah MUI se Indonesia tersebut, Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nadjamuddin Ramly menanggapi dengan menyatakan bahwa pernyataan sikap tersebut merupakan bentuk kepedulian, perhatian dan tekad serius mereka untuk memutuskan rantai penyebaran virus corona atau Covid-19.
Kami memberikan apresiasi terhadap aspirasi yang berkembang dari hasil koordinasi Dewan Pimpinan MUI Provinsi se-Indonesia, Dewan Pimpinan MUI Pusat tidak bisa memberikan intervensi kepada mereka karena itu aspirasi mereka kata Nadjamuddin.
Sikap kritis (protes) 32 Dewan Pimpinan Wilayah MUI se-Indonesia terhadap pemerintah tersebut, dapat menjadi potret betapa kebijakan pemerintah terkait bagaimana mengatasi wabah Corona yang selama ini mendapat dukungan penuh dari MUI, telah mengalami distrust (kehilangan kepercayaan).
Kalau ulama saja sudah mulai tidak percaya kepada kebijakan pemerintah, maka bagaimana pula dengan umatnya kelak?
Kita tunggu saja, bagaimana sikap pemerintah dalam memposisikan sikap kritis para ulama tersebut.
Apakah pemerintah saat ini masih menghormati ulama? Kita tunggu saja. Wallahu A'lam Bishawwabe. (*)