Oleh: M. Aris Munandar, SH.
(Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Unhas - Pengurus KAMMI Komisariat Sosial Humaniora Unhas Periode 2019-2020)
Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang sangat vital dan telah menjadi bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya di Indonesia.
Karena merupakan bagian HAM, maka untuk menunjang pemeliharaan kesehatan tersebut dibutuhkanlah sarana dan prasarana berupa fasilitas kesehatan (Faskes) atau pelayanan kesehatan yang baik dan layak.
Sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 28H (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945) yang berbunyi: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Kemudian diperjelas kembali pada Pasal 34 ayat (3) UUD NRI yang berbunyi: “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum umum yang layak”.
Ketentuan dari UUD NRI 1945 tersebut menunjukkan bahwa negara memiliki kewajiban yang bersifat mutlak dan sentral dalam menunjang kelangsungan hidup manusia Indonesia dengan menyediakan fasilitas kesehatan yang baik dan layak bagi siapa saja.
Seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan di atas merupakan penjewantahan dari asas dalam hukum kesehatan yaitu the right to health care (setiap orang berhak atas pelayanan kesehatan) dan the right to medical care (setiap orang berhak atas pelayanan medis) sebagaimana disebutkan dalam buku Danny Wiradharma: “Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran” halaman 37. Manifestasi dari kedua asas tersebut ke dalam UUD NRI 1945, UU HAM dan UU BPJS merupakan bagian penting dalam kerangka tata negara Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar ke 4 (empat) di dunia versi Worldometers pada 28 April 2019 yakni mencapai 269 juta jiwa.
Namun terdapat suatu dilematika yang terjadi hari ini bahwa Covid-19 tidak menjadi bagian dari jaminan kesehatan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Hal ini dikarenakan, Covid-19 terjadi dengan sangat cepat dan menyerupai Kejadian Luar Biasa (KLB)/wabah.
Sebagaimana yang diketahui bersama bahwa dalam ketentuan Pasal 52 ayat (1) huruf o Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan menyebutkan “Pelayanan kesehatan yang tidak dijamin meliputi: ... pelayanan kesehatan akibat bencana pada masa tanggap darurat, kejadian luar biasa/wabah”.
Tentunya ketentuan tersebut memiliki alasan yang logis yakni bahwa anggaran terkait penanganan penyakit ketika terjadi KLB diambil alih secara komprehensif oleh pemerintah. Akan tetapi, dengan melihat fakta yang terjadi hari ini pemerintah mengalami kesulitan dalam penganggaran terkait Covid-19, khususnya dalam penyediaan Alat Pelindung Diri (APD) dan penjaminan kebutuhan masyarakat pada saat diterapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Perlu dipahami terlebih dahulu pengertian dari KLB/wabah tersebut. Sebagaimana diuraikan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1501/MENKES/PER/X/2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu yang dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan, bahwa “Kejadian Luar Biasa yang selanjutnya disingkat KLB, adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan dan/atau kematian yang bermakna secara epidemiologi pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu, dan merupakan keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah”.
Kemudian dijelaskan pula dalam ketentuan tersebut bahwa “wabah penyakit menular yang selanjutnya disebut Wabah, adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka”.
Jika dilihat dari ketentuan tersebut terdapat suatu kesesuaian keadaan antara cepatnya penularan Covid-19 dengan pengertian dari wabah tersebut yang merupakan bukan bagian dari jaminan kesehatan oleh BPJS.
Dilematik antara konstitusionalitas jaminan kesehatan dengan Perpres Jaminan Kesehatan memang kian pelik ketika diarahkan dalam konteks kekinian.
Sinergitas antara APBN, APBD dan jaminan kesehatan oleh BPJS sangat diperlukan. Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan memang tidak meng-cover untuk dalam hal penanganan Covid-19/wabah/KLB. Tetapi dengan diskresi melalui Peraturan Presiden yang membahas khusus keterlibatan BPJS dalam penanganan Covid-19 bisa saja menjadi jalan agar kebijakan sebelumnya dilampaui. Sehingga pasien Covid-19 bisa ditangani dengan menggunakan anggaran BPJS, yang pada dasarnya mampu membantu pemerintah dalam mengakomodir rumah sakit yang ditunjuk melalui BPJS serta alokasi dana pemerintah dalam memberikan bantuan kepada masyarakat dapat terdistribusi lebih efektif dan merata.