Tubuhnya kurus. Tinggi. Mengenakan kaos oblong dan sarung. Begitulah penampilannya saat melayani kami.
Malam itu, Daeng Sido sendiri melayani para pengunjung. Tak ada yang membantunya. Namun ia tetap terlihat enjoi.
Ayah tiga anak ini murah senyum. Juga masih bersemangat bercerita jika ditanya tentang sejarah kedainya.
Juga tak sungkan menceritakan resepnya membuat sarabba. Termasuk dari mana ia membeli bahan baku sarabba buatannya.
Daeng Sido (74 tahun) menyediakan sarabba di kedai miliknya, Rabu (4/3/2020) malam. (Foto: jumadi mappanganro)
Tak beda dengan sarabba lain, minuman khas Bugis Makassar buatan Daeng Sido ini juga dibuat dari campuran jahe, gula merah, santan kelapa, dan air.
Daeng Sido mengaku tak sulit memeroleh bahan baku sarabba buatannya. Semuanya mudah didapatkan di Bantaeng.
"Gula dan jahe, saya beli di Banyorang. Warga di sana sendiri yang buat," tutur ayah tiga anak ini.
Bayorang dimaksud adalah daerah ketinggian di Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Bantaeng. Kini tumbuh menjadi daerah sentra kopi.
Daeng Sido mengaku sehari bisa menghabiskan satu kilogram jahe untuk bikin sarabba.
"Sejak tahun 1972 sampai sekarang, sarabba saya tidak pernah pakai pemanis lain selain gula merah," tegasnya.
Katanya, kalau pakai pemanis selain gula merah, rasanya bakal beda. Ia khawatir pelanggannya akan pergi.
Karena komitmennya itulah, katanya, pembeli sarabbanya tak pernah sepi. Bahkan sering ada yang memesan sarabbanya untuk acara-acara resmi.
Daeng Sido juga mengaku belum berpikir mengembangkan kedainya dengan membuka cabang di tempat lain.
Juga belum ingin ikut-ikut jualan minuman kopi yang kini tumbuh subur di Bantaeng.
"Biarlah saya jualan sarabba. Itu tommi," katanya diiringi tawa kecil. Wah salut. (*)