TRIBUN-TIMUR.COM, TAKALAR -- Penyanderaan pengusaha properti menjadi kasus kedua yang ditangani oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Sulselbartra, dalam kurun waktu 4 tahun.
Kasus penyanderaan serupa pernah dilakukan pada tahun 2016 silam.
Hal itu disampaikan Kakanwil DJP Sulselbartra, Wansepta Nirwanda dalam jumpa pers di Lapas Kelas IIB Kabupaten Takalar, Kamis (20/2/2020) siang.
"Penyanderaan ini adalah yang pertama di tahun 2020, sebelumnya juga pernah di tahun 2016," katanya di hadapan wartawan.
Wansepta mengungkapkan, penyanderaan merupakan upaya terakhir yang ditempuh oleh DJP Sulselbartra.
Penagihan pajak didahului dengan cara-cara yang persuasif.
Setelah itu ada imbauan mengikuti Tax Amnesty, penyampaian surat teguran, surat paksa, surat perintah melakukan penyitaan.
Bila belum diindahkan, DJP Sulselbartra akan mengeluarkan larangan pencegahan keluar negeri, termasuk pemblokiran rekening.
Setelahnya DJP akan menerapkan penyanderaan terhadap pihak wajib pajak yang tidak kunjung menyelesaikan pajaknya.
Penyanderaan dilakukan didahului surat izin dari Menteri Keuangan Republik Indonesia.
"Kita melakukan penyanderaan dengan tunggakan pajak minimal 100 juta. Hal ini kita lakukan semata-mata menegakkan keadilan," ucap Wansepta.
"Jadi sangat tidak adil bila rakyat kecil membayar pajak. Sementara teman-teman kita yang sudah diberi rezeki melimpah, tapi kewajiban tidak dilakukan," tegasnya.
Wansepta melanjutkan, masa waktu penyanderaan dilakukan dalam kurung waktu enam bulan.
Wajib pajak yang disandera diserahkan ke Lembaga Pemasyarakatan.
"Apabila berakhir, maka bisa diperpanjang lagi enam bulan kemudian," terangnya.