Pencabulan Anak di Mamasa

Pelaku Pencabulan di Mamasa Dijatuhi Hukum Adat, Begini Prosesnya

Penulis: Semuel Mesakaraeng
Editor: Ansar
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Prosesi pemberian sanksi hukum adat pelaku Inses

TRIBUNMAMASA.COM, TAWALIAN - Perbuatan asusila yang terjadi di Kecamatan Tawalian, beberapa pekan lalu, dianggap mencoreng nama baik Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat.

Meski telah diproses sesuai undang-undang, namun pelaku juga tetap dijatuhi hukum adat yang berlaku di Kabupaten Mamasa.

Sebelumnya seperti yang diberitakan beberapa hari lalu, seorang siswi SMP berusia 17 tahun di Mamasa menjadi korban kekerasan seks ayah, kakak dan sepupunya, dari rentan waktu tahun 2016 hingga 2020.

Siswi yang menjadi korban inses itu, telah menjadi budak nafsu ayah dan kakaknya sejak masih kelas 6 SD.

Akibat dari perbuatan ketiga pelaku, tokoh adat menjatuhi hukuman dengan denda satu ekor kerbau, sesuai kondisi ekonominya.

Pemberian sanksi adat itu, sebelumnya telah dirumuskan oleh sejumlah tokoh dan lembaga adat.

Setelah sepekan berlalu, pelaku akhirnya resmi dijatuhi sanksi adat, yang dilakukan di Kelurahan Tawalian, Kecamatan Tawalian, Sabtu (8/2/2020) siang tadi.

Adapun proses sanksi adat yang dilakukan, yakni dimulai dengan musyawarah oleh sejumlah tokoh adat dan pemerintah setempat di kantor kelurahan.

Pada musyawarah itu, tokoh adat dan pemerintah merumuskan teknis pelaksanaan prosesi sanksi adat yang akan dilakukan.

Setelah teknis pelaksanaannya jelas, eksekusipun dilakukan, didahului penyampaian dan imbauan oleh tokoh adat kepada sejumlah masyarakat yang turut menyaksikan.

Imbauan itu dimaksudkan agar masyarakat paham bahwa perbuatan yang dilakukan ketiga pelaku yakni MK, DM dan DA merupakan perbuatan yang biadab.

Dengan begitu, perbuatan itu tidak boleh dilakukan oleh siapapun sebab sanksinya berat.

Selanjutnya, setelah penyampaian oleh tokoh adat, eksekusipun dimulai.

Kerbau yang sudah sediakan oleh keluarga pelaku, dieksekusi dengan cara ditombak (Diparraukan) beramai-ramai disaksikan oleh warga.

Setelah kerbau yang ditombak itu mati, bangkainya lalu dihanyutkan di sungai (dilammusan).

Maurids Genggong, salah satu tokoh adat yang dituakan menjelaskan, prosesi adat yang dilakukan bertujuan mengutuk perbuatan biadab yang diperbuat pelaku.

Meskipun pelaku telah diproses secara hukum positif kata dia, namun tidak menghilangkan proses hukum adat.

Hukum adat dilakukan sebagai bagian dari kegiatan sakral, yakni meminta pengampunan terhadap Tuhan yang Maha Esa.

Sebab diyakini, jika pelaku perbuatan biadab tidak dijatuhi sanksi adat sesuai tradisi, maka akan berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat Kabupaten Mamasa secara umum.

Menurut Maurids, perbuatan asusila terhadap darah daging ini, baru pertama kali terjadi di Kabupaten Mamasa, yang dilakukan secara berjemaah.

"Jadi bukan saja hukum positif, tetapi hukum adat harus diberlakukan," jelas Maurids siang tadi.

Hukum adat lanjut Maurids, sebagai bagian dari upaya memberikan efek jerah bagi pelaku asusila.

Sehingga, jika dikemudian hari pelakuasih melakukan perbuatan yang sama, maka akan dihukum lebih dari hukuman yang diberikan saat ini.

Hukum yang dijatuhi terhadap pelaku saat ini, diberikan sesuai status dan kemampuan ekonominya.

Tetapi, apabila perbuatan itu diulangi, baik terhadap oknum pelaku maupun keluarganya, maka hukumannya akan ditingkatkan, di atas dari kemampuan ekonominya.

Semisal, meskipun status ekonominya rendah, akan ditunjukkan kerbau yang lebih mahal.

"Misalnya, ditunjukkan bahwa kamu harus ambil kerbau belang, maka bagaimanapun caranya, harus dikorbankan," katanya.

Kerbau yang dikorbankan sebagai ganti dari pelaku yang mendapat hukuman. Sebab sesuai hukum adat, pelaku seharusnya dihukum mati.

Tetapi Jika pelaku dihukum mati, dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia, sesuai hukum berlaku secara umum di Indonesia, sehingga kerbau sebagai ganti dari pelaku.

Lebih jauh Maurids menjelaskan, sanksi adat berupa "Diparraukan", memiliki makna yaitu meminta berkat terjadap Tuhan.

Sebab disadari bahwa berbuatan yang telah dilakukan adalah kutuk, yang dipercaya dapat mendatangkan musibah.

Jika prosesi asat itu dilakukan, diyakini kutukan dan dampak musibah yang akan ditimbulkan oleh perbuatan itu akan terhapus.

Selain itu, juga dilakukan agar perbutan asusila tidak dapat diperbuat oleh siapapun, selama berada di Kabupten Mamasa.

Juga secara tidak langsung, prosesi adat yang dilakukan memberi pesan bagi masyarakat bahwa anak dari korban nanti memiliki orangtua, yakni ayah, sekalipun hasil Inses.

Jika "Diparraukan" merupakan pengampunan kepada Tuhan, maka kerbau yang dihanyutkan (Dilammusan) memiliki makna bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pelaku dihanyutkan.

"Diibaratkan kerbau, pelaku ini sudah dihanyutkan," jelasnya.

Karena kerbau diibaratkan dari pelaku, daging dari kerbau yang dikorbankan, menjadi pantangan dikonsumsi oleh siapapun, kecuali binatang.

Dengan selesaniya proses hukim adat yang dilakukan oleh tokoh adat lanjut Maurids, maka kasus asusila yang dilakukan pelaku dainggap selesai.

Laporan wartawan @sammy_rexta

Langganan berita pilihan tribun-timur.com di WhatsApp
Klik > http://bit.ly/whatsapptribuntimur

Follow akun instagram Tribun Timur:

Silakan Subscribe Youtube Tribun Timur:

(*)

Berita Terkini