TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR -- Kematian Agung Pranata pada tahun 2016 yang menersangkakan lima oknum jajaran Polda Sulsel, kini memasuki babak baru.
Kasus ini memasuki babak baru, setelah berkas perkara kasus yang sudah bergulir tiga tahun di Polda dikirim ke Kejaksaan.
Tapi, tim Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar menilai, ada kejanggalan dalam berkas kasus yang dikirim ke Kejaksaan.
"Ada kejanggalan penerapan pasal," beber kuasa hukum di LBH, Haerul kepada tribun saat dikonfirmasi, Rabu (15/1/2020) sore.
Haerul mengaku, sepanjang kasus Agung bergulir di Polda dalam tiga tahun ini, ada banyak kejanggalan yang bermunculan.
Diantaranya itu, pasal yang disangkakan kelima tersangka itu merupakan rumpun kejahatan terhadap nyawa dan tindakan.
Seperti Pasal 338 tentang Pembunuhan kata Haerul, dan Pasal 353 ayat 3, dan lalu Pasal 352 ayat 2 serta Pasal 357 KUHP.
"Pasal-pasal kejahatan terhadap nyawa dan penganiayaan yang memiliki ancaman pidana berat tidak di masukkan," ujarnya.
Pasal 170 ayat 3 tentang penganiayaan berujung kematian, ancaman maksimal 12 tahun penjara, itu juga tidak dimasukkan.
Seharusnya lanjut Haerul, penyidik Polda harusnya menambahkan pasal pemberatan karena itu berdasarkan keterangan saksi.
"Ya keterangan dari saksi bahwa korban sebelum meninggal itu sempat dipaksa minum deterjen oleh tersangka," jelasnya.
Namun kata tim LBH, para tersangka tidak dikenakan Pasal 36 ayat 3 dan menambah sepertiga ancaman pidana penjaranya.
Selain kejanggalan itu, kelima tersangka adalah anggota polisi aktif, sehingga bisa dikenakan juga didalam Pasal 152 KUHP.
Selain kejanggalan dalam beberapa Pasal, tim pengacara dari LBH juga menilai, lima tersangka itu tidak dilakukan penahanan.
Disamping itu, Haerul menyebutkan, lima tersangka polisi aktif tersebut belum juga dikenakan pelanggaran etik dan disiplin.