Oleh: Ir Rachmat R MSc.
Pensiunan Staf Peneliti Ternak Sapi Potong Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulsel
Program swasembada daging sapi merupakan salah satu kebijakan pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian. Dalam rangka mewujudkan kemandirian pangan nasional yaitu tersedianya daging sapi minimal 90% yang diproduksi dalam negeri dan sisanya 10% dipenuhi dari impor baik dalam bentuk sapi hidup maupun daging sapi beku.
Hal ini pemerintah melakukan karena sejak tahun 90an sampai sekarang Indonesia mengalami ketergantungan daging sapi impor guna memenuhi kekurangan daging sapi yang cukup besar antara 30 – 40% dari total kebutuhan secara nasional setiap tahun.
Implementasi program swasembada daging sapi ini dimulai dari tahun 2000 s/d 2014 (±14 tahun), namun tidak pernah tercapai dengan berbagai masalah. Bahkan di tahun 2019 ini, Indonesia memperkirakan masih harus mengimpor daging sapi sekitar 256.860 ton atau 37,5% dari total kebutuhan, sehingga menimbulkan pesimis apakah swasembada daging sapi masih bisa diwujudkan.
Berdasarkan pengalaman penulis di lapangan, mencoba menyampaikan beberapa masalah swasembada daging sapi belum bisa tercapai sampai saat ini antara lain. Pertama, usaha peternakan rakyat merupakan usaha ternak sapi potong terbesar di Indonesia. Data populasi induk sapi produktif yang ada pada usaha peternakan rakyat ini tidak tersedia yang akurat/riil menyebabkan prediksi/target swasembada daging sapi tidak tercapai.
Data ini sangat dibutuhkan karena tingkat produktivitas ternak sapi potong sangat ditentukan oleh efesiensi reproduksi ternak sapi betina/induk. Untuk menghitung produksi ternak sapi dasarnya adalah jumlah induk sapi yang akan melahirkan pedet sapi jantan dan betina.
Sapi jantan yang dilahirkan digemukkan untuk dipotong sebagai sumber daging sapi dan sapi betina dikembangbiakkan untuk menambah populasi.
Kedua, industri ternak sapi potong didominasi oleh usaha peternakan rakyat di mana pembibitannya masih bersifat traditional dengan motivasi yang tidak ‘berorientasi ekonomi’ menyebabkan kurangnya perhatian peternak melakukan inovasi teknologi untuk meningkatkan
produktivitas induk sapi yang dipelihara.
Selain itu, bila petani menjual sapi karena butuh dana mendesak dan tidak memiliki sapi jantan, maka sapi betina termasuk induk sapi yang sedang buntingpun dijual kepada pedagang/pemotong ternak tanpa memperhatikan kelanjutan usaha ternaknya.
Hal ini dibuktikan tingginya jumlah sapi betina dan induk sapi produktif yang dipotong dirumah potong hewan yang berpengaruh langsung terhadap perkembangan populasi ternak sapi potong. Ketiga, Lokasi pembibitan ternak sapi dalam usaha peternakan rakyat belum ada, walaupun ada tapi pengelolaannya belum dilaksanakan sebagaimana mestinya sebagai pembibitan.
Kepastian adanya lokasi pembibitan bertujuan untuk memudahkan pembinaan dan pelayanan tehnis kepada peternak yang intensif, mempermudah monitoring dalam rangka pengendalian supplay dan demand, mempercepat proses alih teknologi dan sebagai sumber bibit yang bisa dipertanggung jawabkan (sertifikasi).
Sebagai contoh di Sulawesi Selatan, lokasi pembibitan sapi bali murni beberapa puluh tahun yang lalu sudah ditetapkan di tiga kabupaten yaitu kabupaten Bone, Barru dan sebagian wilayah Enrekang. Pembibitan sapi bali murni di ketiga daerah ini tidak berjalan sebagaimana mestinya, dan sekarang terjadi penurunan jumlah dan mutu ternak sapi bali yang sangat signifikan.
Keempat, pasar ternak sapi potong pada sentra produksi ternak sapi potong seperti di Sulawesi Selatan belum ada.
Pasar ini sangat diperlukan karena kemampuan petani ternak memamfaatkan pasar hampir tidak ada oleh akibat melembaganya struktur ekonomi dualistik yaitu ada petani ternak kecil yang gurem dan usaha ternak sapi potong termasuk pedagang/pemotong yang tidak ditopang oleh bentuk kerjasama kemitraan yang saling menguntungkan.
Para petani kecil ini terkonsentrasi pada kegiatan budidaya ternak sapi potong, sedangkan proses hilir ditangani oleh pedangang/pemotong ternak, sehingga nilai tambah yang tercipta disektor hilir tidak terdistribusi dengan baik dalam bentuk harga yang wajar ketingkat peternak.