"Ada juga yang meyakinkan bahwa apakah ini rekayasa," ungkap Rustika.
Direktur Komunikasi Indonesia Indikator itu kemudian menjelaskan penelitiannya di media sosial Twitter mengenai fenomena ini.
"Ada beberapa catatan terkait dengan Twitter," ucap Rustika.
"Pertama adalah konteks Twitter itu berbeda dengan media online."
"Media online dia lebih 'presisi' ketika bicara soal Wiranto, bicara soal Twitter dan Facebook, dia memiliki karakter yang berbeda."
"Berbicara soal Twitter, residu soal pilpres itu masih terasa, kemudian ketiga, berbicara soal Twitter 82 persen yang merespons Pak Wiranto adalah kaum milenial."
"Jadi persepsi mereka tentang Pak Wiranto juga sangat ditentukan oleh apa yang mereka dengar dan apa yang mereka baca selama ini," sambungnya.
Rustika kemudian membeberkan alasan mengapa insiden penusuka Wiranto ramai dibicarakan.
"Karena ada 7 isu besar yang menjadi perdebatan di kalangan netizen," ucap Rustika.
Ketujuh isu tersebut di antaranya adalah:
1. Isu radikalisme
2. Isu doa kesembuhan
3. Isu pencopotan Dandim
4. Isu Wiranto dikaitkan dengan politik (KPK, Papua, Gempa)
5. Isu pisau
6. Isu luka
7. Isu settingan atau rekayasa
"Kenapa sampai terjadi perpecahan ini? Karena masyarakat itu di netizen itu menunggu," ujar Rustika.
"Pertama, yang membuat mereka curiga adalah soal kaus putih bersih yang tidak keluar (darah)."
"Kedua soal baju batik, ketiga kenapa tidak ada satupun respons dari dokter yang bersangkutan."
"Biasanya kalau ada seseorang sakit itu kan pasti figur yang sakit figur besar kan, dokter yang bicara, nah selama ini kok belum ada dalam 3 hari terakhir."
"Maka sebenarnya kalau kita di data itu terlihat Bang Karni, bahwa ada perubahan antara reaksi netizen pada saat kejadian dan 2 hari setelah kejadian," tambahnya.
Menurut Rustika, saat kejadian, ada 58, 4 persen masyarakat di-drive oleh isu-isu yang berkembang di media.
Kemudian ada 15,58 persen yang simpati kepada Wiranto, dan mempertanyakan soal kehati-hatian setelah insiden penusukan.
Lalu ada 18,8 persen yang mempertanyakan apakah kasus penusukan Wiranto adalah fakta.
"Karena ada ruang kosong yang tidak clear oleh netizen, maka 2 hari kemudian isunya berubah," lanjut Rustika.
"Di mana mereka yang mempertanyakan berubah naik menjadi 44,03 persen, sementara mereka yang netral turun jadi 29,1 persen."
"Sementara mereka yang meyakinkan bahwa ini bukan rekayasa, ini itu nyata, itu ada sebesar 26,8 persen."
Menurut Rustika, mereka yang kontra, masih meragukan penusukan Wiranto, rekayasa atau tidak.
"Kemudian mereka juga menganggap pemerintah lebih peduli ke Pak Wiranto, tapi kurang ke rakyat," kata Rustika.
"Karena dikaitkan dengan korban Wamena dan aksi demo mahasiswa."
"Sementara kelompok yang pro-pemerintah, mereka mengecam terhadap orang-orang yang tidak percaya," imbuhnya.
Menurut Rustika, kelompok yang itu juga menyindir kasus Ratna Sarumpaet.
"Kenapa dulu Ratna Sarumpaet diserang semua orang percaya, ketika Pak Wiranto betul-betul diserang, kenapa kalian tidak percaya."
"Nah itu lah situasi yang terjadi di media sosial saat ini," sambungnya.
Menanggapi hal itu, Karni Ilyas kemudian berceletuk "Bukan tidak percaya saja, tapi banyak yang tidak percaya, daripada yang percaya."
Karni Ilyas juga menanyakan faktor lain yang menyebabkan adanya polarisasi di masyarakat.
Termasuk keterangan pejabat yang berbeda-beda.
"Awalnya, mereka yang empati ini cukup besar, tapi kenapa berubah mereka yang tidak percaya itu lebih besar? Karena salah satunya adalah, mohon maaf, beberapa informasi yang disampaikan ke masyarakat itu tidak masuk di akal mereka," kata Rustika.
"Sebagai contoh darah yang keluar dari Pak Wiranto itu 3,5 liter, nah itu akhirnya menjadi isu yang akhirnya besar."
"Kedua adalah kenapa informasi yang muncul dari politisi, bukan dari dokter, jadi itu sih yang jadi pertanyaan."
Menurutnya, kesimpasiuran informasi terkait Wiranto membuat publik tidak percaya dan ragu-ragu.
Terkait hal itu, Karni Ilyas menyayangkan soal pihak rumah sakit yang tidak cepat memberikan informasi, sehingga muncul dugaan rekayasa.
"Sampai berkembang isu yang sama sekali tidak benar, bahwa itu hanya adegan tangan kosong, bahwa tidak ada luka," ujar Karni Ilyas.
"Dan kalau tidak ada masa dirawat sekian lama, lagipula kalau itu rekayasa, sudah berapa orang yang melihat Pak Wiranto ke rumah sakit, pastilah ketahuan bahwa rekayasa."
"Sayangnya tidak ada penjelasan resmi dari rumah sakit, dan kita malam ini kami mencoba mengundang dari RSPAD, tapi tidak ada yang bersedia datang," sambung Karni Ilyas.
Momen Karni Ilyas Semprot Anak Buah Presiden Jokowi di ILC Tadi Malam Terkait Cover Majalah Tempo
Momen Karni Ilyas semprot anak buah Presiden Jokowi di ILC tadi malam terkait cover Majalah Tempo.
Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden, Ali Mochtar Ngabalin disemprot Karni Ilyas karena terus berbicara saat dialog di Indonesia Lawyers Club (ILC) Selasa (8/10/2019).
Hal itu terjadi saat Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Ilham Bintang mengatakan kalau hanya Ali Mochtar Ngabalin yang membela Jokowi soal cover di Majalah Tempo beberapa waktu lalu.
Mendengar itu, Ali Mochtar Ngabalin, anak buah Presiden Jokowi pun langsung melayangkan protes.
Hal itu sempat dilarang Karni Ilyas, Pemred TV One sekaligus mantan wartawan Tempo karena sebelumnya pembelaan itu memang disampaikan oleh Ali Mochtar Ngabalin.
Apalagi, Ali Mochtar Ngabalin sudah diberikan kesempatan untuk bicara dan kali ini giliran Ilham Bintang.
Karena terus berbicara saat Ilham Bintang menyampaikan pendapatnya, Karni Ilyas pun langsung menjauhkan mic dari Ali Mochtar Ngabalin.
"Saya ingin mengatakan bahwa tanpa diminta, saya telah membaca dan memeriksa produk Majalah Tempo 3 minggu terakhir. Dan kesimpulannya, sejauh pengamatan saya, saya ingin mengatakan bahwa tidak ada pelanggaran kode etik jurnalistik yang dilakukan Tempo," kata Ilham Bintang sebagaimana dikutip dari channel YouTube Indonesia Lawyers Club (ILC), Rabu (9/10/2019).
Menurut Ilham Bintang, karya-karya Tempo di dalam 3 edisi terakhir ini, bisa dipertanggung jawabkan sebagai produk yang mematuhi prinsip kerja jurnalistik yang benar.
"Itu terkonfirmasi, dan tadi Mas Budi saya tanya, apakah ada bantahan dari pihak Istana, tidak ada, tidak ada kan? Di kantor PWI pun tidak ada. Selanjutnya yang keberatan tadi ini cuma Ngabalin," kata Ilham Bintang.
Mendengar itu, Ali Mochtar Ngabalin pun langsung melayangkan protes dan meminta kesempatan untuk mengklarifikasi.
"Nggak apa-apa kalau itu, nggak ada serangan untuk Anda," kata Karni Ilyas kepada Ali Mochtar Ngabalin.
Namun meski dilarang, Ali Mochtar Ngabalin tetap bersikukuh ingin berbicara.
"Saya cuma mau bilang prinsip Pak Jokowi itu adalah lamon siro seti ojo mateni, meskipun engkau sakti jangan membunuh," katanya.
"Iya udah, cukup," kata Karni Ilyas menghampirinya.
"Karena kalau dia melakukan sesuatu bisa," kata Ali Mochtar Ngabalin lagi tanpa mendengarkan Karni Ilyas.
Hal itu pun dibalas oleh Ilham Bintang.
"Pak Jokowi juga nggak suka orang banyak ngomong," kata Ilham Bintang sambil menunjuk Ali Mochtar Ngabalin.
Perdebatan pun kian panas, di mana Ali Mochtar Ngabalin masih terus menyampaikan pembelaan.
"Bukan, saya mau bilang dulu, orang tidak protes itu bukan berarti tidak ada masalah, tapi orang tidak mau bikin masalah pak," katanya lagi.
"Sudah cukup," ujar Karni Ilyas.
Terdengar Ali Mochtar Ngabalin masih terus berbicara dan kemudian mic-nya diambil oleh Karni Ilyas dan dijauhkan dari Ali Mochtar Ngabalin.
"Loh Ngabalin gini, saya mengatakan bahwa Anda satu-satunya orang yang saya dengar membela, dan itu sah. Anda tadi menyebut abdi dalem. Nah persoalan pada Mas Budi ini atau teman-teman Tempo, dia melaksanakan prinsip kerja jurnalistik," kata Ilham Bintang menjelaskan.
Kemudian tampak Ali Mochtar Ngabalin meminta mic dari rekan yang di sampingnya.
"Nggak, nggak ada lagi," kata Karni Ilyas.
Mengetahui dirinya dilarang bicara, Ali Mochtar Ngabalin pun tampak tertawa.
"Kalau Mas Ngabalin bilang dia mengabdi kepada presiden, lebih tinggi nilainya Budi, karena dia mengabdi kepada bangsa ini," kata Ilham Bintang.
"Saya Abdi Dalem, 1000 persen saya abdi dalem," ujarnya berteriak tanpa mic.
Kemudian Ilham Bintang menegaskan bahwa tak ada wartawan yang ingin Indonesia hancur.
"Saya percaya tidak ada wartawan yang ingin Indonesia ini hancur, karena apa, karena dia ikut di dalam internal membangun bangsa. Dia lahir sebelum kemerdekaan itu sendiri. Dia ikut memperjuangan kemerdekaan," katanya.
Tiba-tiba Karni Ilyas meminta untuk menyudahi perkataan.
"Cukup!," kata Karni Ilyas.
Ali Ngabalin pun tampak senang karena mengira lawan debat diminta berhenti.
"Cukup?," kata Ali Mochtar Ngabalin.
"Nggak, Anda yang cukup," jawab Karni Ilyas.
Rupanya yang diminta diam oleh Karni Ilyas adalah Ali Mochtar Ngabalin.
Kemudian semuanya pun tertawa termasuk Ali Mochtar Ngabalin.
Lagi-lagi Ilham Bintang menjelaskan soal cover Tempo yang ramai dibicarakan.
"Saya juga mau menyatakan bahwa tidak ada pelecehan simbol negara dalam cover-cover Tempo, sesungguhnya presiden adalah pejabat publik, terbuka untuk dikritik, tidak ada pelecehan," ujarnya.
Kalaupun ada, kata dia, hal itu bisa diproses dan wartawan tidak kebal hukum.
"Tadi Mas Eko menyebut enak pers begitu kena tinggal datang ke Dewan Pers minta maaf, tidak. Anda bahkan bisa menuntut Tempo ke Polisi. Jadi jangan menganggap seolah pers kebal hukum, tidak. Tidak semudah itu anggapan orang kebal hukum. Anda tidak puas dengan Dewan Pers, Anda bisa laporkan ke polisi sebagai tindak pidana," katanya.
Terdengar Ali Mochtar Ngabalin masih terus menimpali pernyataan Ilham Bintang.
Kemudian Ilham Bintang pun tampak menimpalinya.
Sehingga membuat Ilham Bintang ikut diminta tidak menanggapi oleh Karni Ilyas.
"Ya, Anda nggak usah jawab, lanjut saja," kata Karni Ilyas.
Follow akun instagram Tribun Timur:
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Mengenal Abdi Setiawan, Menantu Wiranto yang Dikenal Taat Beribadah dan Santun, https://www.tribunnews.com/nasional/2019/10/16/mengenal-abdi-setiawan-menantu-wiranto-yang-dikenal-taat-beragama-dan-santun?page=1.