TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Dosen Pascasarjana Universitas Mathlaul Anwar Serang, Dr. Suhardi Somomoeljono, SH, MH, mengungkapkan pandangannya tentang penyebaran radikalisme tidak pandang bulu, sehingga siapapun dapat terjangkit.
Menurutnya, virus radikalisme bisa menyasar siapa saja.
Bahkan infiltrasi itu telah menyusup ke kalangan intelektual, bahkan di lembaga-lembaga pemerintah.
Hal ini tidak bisa didiamkan karena infiltrasi radikalisme terutama intoleransi dan takfiri sekarang telah sangat mengkhawatirkan.
Pasalnya, bila penyebaran ideologi kekerasan ini tidak dihentikan, akan menimbulkan kekacauan di masa mendatang.
Dilansir dari Tribunnews, lebih berbahaya lagi, bila paham-paham negatif itu menjangkiti intelektual kampus. Meski mungkin jumlahnya relatif kecil, tapi dampak yang akan ditimbulkan di kalangan mahasiswa dan masyarakat sangat besar.
“Untuk melawan itu, rektor sebagai penguasa perguruan tinggi di kampus harus berani mengeluarkan kebijakan yang secara imperatif memiliki nilai sanksi akademis,” kata Suhardi.
Menurut Suhardi, akar permasalahan radikalisme ini sebenarnya terletak pada kegagalan sebagian masyarakat yang dalam memahami kaitan keberadaan budaya dalam kaitannya dengan agama. Hal itu berakibat secara signifikan yang menimbulkan perilaku yang cenderung egoisme dan mementingkan kelompoknya sendiri.
Kondisi inilah yang membuat penyebaran radikalisme di lingkungan kampus menjadi sangat subur. Pasalnya, di era milenial ini, penguatan budaya dan kearifan lokal di kalangan terdidik sudah sangat kurang sekali. Belum lagi wawasan kebangsaan dan nasionalisme yang semakin tipis karena tergerus karena masuknya ideologi-ideologi transnasional dari luar negeri.
“Itulah masalahnya, narasi-narasi intoleransi dan sejenisnya itu mudah menyebar di kalangan mahasiswa dan masyarakat, ya karena terlepasnya nilai-nilai budaya dari doktrin agama. Padahal nilai budaya dari doktrin agama itu seharusnya bisa menjadi benteng untuk menangkis serangan radikalisme itu. Kalau bentengnya rapuh, otomatis akan mudah goyah diserang,” papar Suhardi yang juga pakar deradikalisasi ini.
Ia menyarankan, agar dua variabel diatas yaitu budaya dan agama harus segera disinergikan dalam berbagai kebijakan legislasi nasional.
Pasalnya, bila tidak pencegahan terhadap dinamika masyarakat yang mengarah pada perilaku intoleransi, akan sulit dilakukan. Lebih-lebih lagi pada tahapan penindakannya.
Untuk itu, para tokoh agama dan masyarakat juga harus ikut aktif membina masyarakat sesuai porsi dan urgensinya masing-masing dan dibawah panduan serta fasiltasi dari pemerintah.
“Spektrum penegakan hukum tidak akan mampu menyelesaikan masalah radikalisme ini. Bahkan untuk meredam pun sangat sulit jika jumlah masyarakat yang berprilaku intoleransi demikian banyaknya,” jelas pria yang juga praktisi hukum ini.
Siapa Suhardi Somomoeljono?
Dilansir dari wikipedia, lahir di Trenggalek, 6 September 1959 sebagai anak keenam dari 10 bersaudara.
Ia adalah keturunan para pejuang kemerdekaan.
Kakeknya yang pernah menjadi Lurah, ikut andil menentang penjajahan Belanda pada masa Budi Utomo.
Darah pejuang itu lalu turun ke ayah Suhardi yang berprofesi sebagai tentara.
Ia ikut berperang melawan penjajahan sejak jaman Jepang.
Di samping itu, ajaran Islam tumbuh subur di keluarga ini sejak lama.
Ayah Suhardi yang meski seorang tentara, ternyata juga dikenal sebagai pribadi religius yang memiliki latar belakang lulusan pesantren di Trenggalek.
Di tengah keluarga seperti inilah, Suhardi tumbuh.
Maka wajar kalau jiwa nasionalis-religius sudah tertanam dalam diri Suhardi sejak kecil.
Suhardi Somomoeljono menyelesaikan pendidikan tingkat dasar di SDN 1 Trenggalek.
Selanjutnya ia diboyong ke Madiun, tempat ayahnya kemudian bertugas.
Di daerah ini pula pendidikan tingkat menengah pertama dan menengah atas ia selesaikan, tepatnya di SMP ABRI Madiun dan SMAN 2 Madiun.
Pindah ke Madiun membawa perkenalan Suhardi dengan Universitas Islam Indonesia (“UII”).
Saat itu, kampus bersejarah ini memang membuka cabang di Madiun untuk Fakultas Syari’ah dan Fakultas Tarbiyah.
Paham mengenai latar belakang berdirinya UII, ayahnya pun banyak bercerita.
Dari perihal tentang pendirian UII yang merupakan prakarsa anak bangsa sekaligus para pejuang kemerdekaan, tentang keinginan Bung Karno menjadikan UII sebagai universitas terbesar di Asia sampai perihal posisi UII yang merupakan cikal bakal beberapa kampus ternama di Yogyakarta, semua diceritakan kepada Suhardi.
Lantaran sering mendapat cerita, keinginan untuk menempuh kuliah di UII sudah mantap dalam dirinya jauh sebelum lulus SMA.
Benar saja, setelah lulus, Suhardi sudah tidak lagi memikirkan kampus lain sebagai tempat melanjutkan studinya selain UII.
Pilihan Fakultas Hukum sendiri merupakan saran dari orang tuanya.
Meski di Madiun ada Fakultas Syari’ah dan Tarbiyah, Suhardi justru diminta untuk berangkat ke Yogyakarta, masuk FH UII.
Masa Kuliah
Suhardi Somomoeljono menjalani masa kuliah dalam jangka waktu normal, yakni selama enam tahun.
Untuk ukuran masa itu, masa kuliah enam tahun bahkan bisa dibilang cepat.
Ia tercatat sebagai angkatan tahun 1979 dan lulus sarjana pada tahun 1985.
Ke Yogyakarta, Suhardi diantar oleh ayahnya.
Satu hal yang paling diingatnya adalah saran yang disampaikan sang ayah kepadanya tentang bagaimana masa kuliah dijalani.
Kata ayahnya, ada tiga rumus yang harus dipegang dalam menjalani kuliah di UII, yang disederhanakan menjadi tiga kata: studi, organisasi dan cinta.
Yang pertama dan paling utama adalah persoalan studi.
Kepada Suhardi, ayahnya sangat menekankan agar proses belajar harus selalu diutamakan.
Bukan berarti hanya di dalam kelas melainkan juga di luar kelas.
Sembari itu, kegiatan berorganisasi tidak boleh dikesampingkan karena ini adalah media bersosialisasi, belajar manajemen dan berbagai manfaat lainnya.
Sementara untuk urusan cinta, harus diletakkan diurutan ketiga. Elemen keteiga ini mendapat penekanan khusus.
Ayahnya tidak melarang, namun terlebih dulu memenuhi syarat.
Boleh cari calon istri dalam posisi sudah selesai teori dan baru boleh menikah jika lulus kuliah. “Lebih baik kamu jadi aktivis daripada pacaran”, kata ayahnya.
Nasihat ini diinsyafi dengan baik oleh Suhardi.
Berbagai organisasi lalu ia ikuti, internal maupun organisasi ekternal kampus.
Berbagai kegiatan organisasi pula ia jadikan pula sebagai tempat belajar lain, selain di bangku kuliah.
Tercatat, Suhardi pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa, Wakil Ketua Senat Mahasiswa dan juga Sekretaris BKK.
Sementara di eksternal, ia juga tercatat aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Kehidupan Organisasi
Pemikiran Suhardi Somomoeljono mulai berkembang.
Ia banyak belajar bagaimana mengelola satu lembaga dan sekaligus belajar menyelesaikan persoalan-persoalan.
Saat menjadi Wakil Ketua Senat pada tahun 1981-1982, satu persoalan yang menyita perhatian civitas akademik adalah munculnya stigma bahwa UII adalah kampus ekstrimis.
Suhardi dan kawan-kawan sampai menghadirkan sosok Soetomo ke UII untuk memberi ceramah demi meredam anggapan tersebut.
Banyak yang tidak setuju dengan keputusan itu karena terkesan akan mengarah kepada kekuasaan.
Namun, keputusan tetap diambil untuk tetap melaksanakan langkah itu.
Saat itu, mereka sudah sampai pada pemikiran bahwa alumni UII umumnya jadi pejabat dan kader bangsa sehingga justru tidak boleh mengambil jarak dengan kekuasaan.
Kegandrungan berorganisasi terus juga berlanjut setelah ia tamat kuliah.
Saat ini, Suhardi menjabat sebagai Ketua Umum Himpunan Advokat/Pengacara Indonesia (HAPI), Ketua atau Provisional Chairman Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) dan Ikatan Saudagar Muslim Indonesia (ISMI) .
Profesi Advokat
Tersemai sejak kecil ingin menjadi advokat, Suhardi Somomoeljono mulai menapaki karier itu setelah menyelesaikan kuliahnya di UII pada tahun 1985.
Banyak hal yang menginspirasi Suhardi menetapkan memegang teguh cita-cita menjadi advokat.
Saat masih kecil, tepatnya kelas 3 SD, ia sempat melihat bagaimana kakek dan ayahnya menyelesaikan satu kasus pencurian.
Pencurian dengan objek 2 buah ketela itu dilakukan oleh seseorang yang disebabkan karena istrinya yang hamil besar dan mau melahirkan.
Si pencuri sendiri adalah masyarakat dengan kondisi sangat miskin.
Kakek Suhardi yang seorang Lurah dan berlatarbelakang pendidikan Belanda cukup keras terhadap si pencuri.
Sebaliknya, meski seorang militer sang ayah justru membela si pencuri dengan mengemukakan berbagai argumen.
Suhardi kagum melihat tindakan sang ayah. Setelah melalui perdebatan, akhirnya si pencuri tidak jadi dihukum.
Hanya dimarahi dan diminta mengembalikan satu buah ketela, sedangkan satu lainnya boleh dibawa pulang.
Kebijaksanaan ini menginspirasi Suhardi kelak akan menjalani aktivitas sebagai pembela.
Ia sangat senang melihat ada masyarakat yang dibela.
Apalagi masa kecil suami Sri Sadiyani Utami ini diwarnai berbagai pemberontakan sehingga membela orang lain ia anggap sebagai sesuatu yang luar biasa.
Suhardi bahkan memberanikan diri menolak permintaan orang tuanya untuk menjadi hakim beberapa saat setelah lulus kuliah.
Berselang dua tahun sejak kelulusannya, 1987, ia membuka kantor hukum di Yogyakarta bernama Suhardi Somomoeljono & Assosiates.
Kantor ini lalu pindah ke Jakarta pada tahun 1993.
Rentang waktu lebih dari 25 tahun menjalankan profesi sebagai pengacara, Suhardi telah menangani hampir semua bidang kasus, baik kecil maupun besar dan menyita perhatian publik.
Dalam kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir, ia mendampingi tersangka Pollycarpus Budihari Priyanto sampai bebas pada tahun 2007 silam.
Itu setelah MA menyatakan mantan pilot Garuda Indonesia itu tidak terbukti melakukan pembunuhan.
Tidak hanya dalam menangani kasus, sepakterjang Suhardi Somomoeljono sebagai advokat juga mendapat pengakuan dari teman sejawat.
Dengan berbagai jabatan yang diemban di organisasi advokat, lulusan Magister Hukum Universitas Padjajaran ini sejatinya termasuk inisiator pembentukan UU Advokat.
Dengan begitu, seluk beluk organisasi keadvokatan secara umum persis ia ketahui.
Data Diri:
Nama: Suhardi Somomoeljono
Nama Lengkap: Dr. Suhardi Somomoeljono, SH, MH
Lahir: 06 September 1959
Tempat Lahir: Trenggalek
Kebangsaan: Indonesia
Pekerjaan: Pengacara
Buku: Menguak konspirasi internasional di Timor Timur: sebuah analisisyuridis
Sumber berita: https://www.tribunnews.com/metropolitan/2019/09/15/berbahaya-bila-paham-negatif-menjangkiti-intelektual-kampus-kata-suhardi-somomoeljono
Foto: Wahyu Aji/Tribunnews.com
Praktisi & Akademisi Dosen Pascasarjana Universitas Mathla'ul Anwar (UNMA) Banten Suhardi Somomoeljono.