Meski saya tergolong baru mengenalnya lebih dekat, tapi saya sedikit bisa memahami keinginannya. Saya pun menyampaikan saran, jika jalan terbaik untuknya tidak maju menjadi caleg, dan fokus mengurus kemanusiaan.
Dan benar, ia memang tidak sreg dengan tawaran maju menjadi caleg. “Betul itu Dik. Mending saya fokus membantu orang-orang yang selama ini berjuang untuk saya, sekaligus mengurus masalah kemanusiaan,” urainya.
Di tempat itu pula, saya melihatnya berusaha menahan tangis. Matanya berkaca-kaca, dan suaranya tersendat. Ia mengingat ketulusan sebagian tim dan relawan, serta masyarakat yang menginginkannya menjadi gubernur.
“Inilah saatnya saya membalas mereka. Nanti selesai tahapan pilgub, kita buatkan perencanaan,” katanya yang membuat air mata saya menetes, sekalipun saya sudah berusaha untuk memendamnya.
Hitungan menit setelah itu, ia langsung pamit untuk keluar. Kami pun berpelukan, sambil tangannya menampuk pundak saya menyampaikan terima kasih. “Terima kasih atas bantuannya selama ini yah Dik,” ujarnya sebelum naik ke mobil pribadinya.
Kisah saya di atas, hanya bagian kecil tentang pengalaman dan kehangatan yang saya rasakan selama ikut menemaninya kurang lebih setahun di Pilgub Sulsel. Kendati, saya baru berinteraksi langsung dengannya setelah ditempatkan oleh kantor saya, Jaringan Suara Indonesia (JSI) di tahapan pilgub. Tapi saya sepertinya sudah dekat puluhan tahun.
Benar bahwa Ichsan Yasin Limpo adalah manusia biasa. Punya banyak kekurangan, dan juga kekhilafan di masa lalu. Tapi di mata saya pribadi, ia punya banyak pembeda. Ia memiliki kepekaan sosial yang begitu tinggi. Ia sangat perhatian terhadap orang-orang yang tulus berjuang bersamanya.
Sekali pun saya harus jujur mengakui jika sebelum saya mengenalnya lebih jauh, saya termasuk tak pernah sejalan untuk afiliasi politiknya. Namun sebuah kebanggaan dan pengalaman berharga bagi saya bisa merasakan kehangatan, sekaligus menjadi “murid” barunya.
****
Di catatan ini yang merupakan bagian dari pengalaman pribadi yang saya tulis secara bersambung untuk mengenang kepergian beliau, penulis akan mengurai potret kepeduliannya yang mungkin tak banyak yang tahu.
Meski seorang temannya yang baru juga bersentuhan langsung dengannya pernah menulis sisi lain tentang IYL soal sisa makanan, tapi saya juga akan menyinggung sedikit. Karena ini kesan pertama yang saya ikut rasakan ketika awal-awal bersamanya di tahun 2017.
Sehari setelah saya diperkenalkan oleh pimpinan untuk ikut melekat, saya pun menjalankan tanggung jawab mendampingnya. Saat itu, saya ikut kemana pun ayah empat anak ini pergi untuk urusan pencalonannya di Pilgub Sulsel.
Karena masih jauh dari tahapan pendaftaran pilgub, tentu jadwal kegiatannya lebih banyak melakukan konsolidasi persiapan. Seperti ketemu tim ahli, maupun elit-elit politik yang banyak dilakukan di tempat tertutup. Termasuk di ruangan hotel.
Hari itu, saya ikut menemaninya makan malam. Tempat yang dipilih adalah salah satu restoran di Hotel Claro. Ia memesan beberapa ekor ayam goreng kesukaannya. Lengkap dengan ikan bakar, plus sayur dan menu lainnya.
Kami pun menikmati hidangan makanan itu. Beberapa potong ayam goreng tersisa, dan ikan bakar ada beberapa bagian tidak tersentuh. Termasuk tumis sayur, juga ada yang tidak mencicipinya. Dan tentu nasi putih, kebanyakan tersisa.
Usai makan, pelayan datang membersihkan meja tempat kami makan. Betapa kagetnya saya, ketika IYL meminta pelayan itu membungkus sisa makanan yang tidak tersentuh. Dalam hati kecil saya, masa kandidat gubernur dan mantan bupati dua periode meminta sisa makanan dibungkus?