OPINI

OPINI - Solusi Mahalnya Harga Tiket Pesawat

Editor: Aldy
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dosen Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan

Oleh:
Ilyas SE MSi
Dosen Ilmu Ekonomi - Alumni Unhas

Pada arus mudik dan arus balik Lebaran beberapa hari lalu, banyak warga mengeluhkan mahalnya tiket pesawat.

Bahkan sebenarnya sebelum memasuki bulan Ramadan, harga tiket pesawat di Indonesia sudah mahal.

Sebuah paradoks ketika harga tiket mahal pada saat infrastruktur begitu massif dibangun di negeri ini.

Idealnya infrastruktur bisa meningkatkan efektivitas dan efisiensi perjalanan. Mengurangi biaya, memperpendek jarak, ataupun waktu tempuh.

Fenomena keluhan masyarakat akan mahalnya harga tiket pesawat ini memunculkan konklusi sesat bagi sebagian orang.

Menurutnya dengan semakin banyak yang mengeluh menandakan bahwa semakin banyak golongan menengah di negeri ini.

Karena hanya golongan menengahlah yang paling terpengaruh dengan mahalnya harga tiket.

Golongan atas (the have) tentu tidak ada soal. Begitupun golongan bawah.

Baca: Luwu Diterjang Banjir, Alfamidi dan Lazisnu Salurkan Bantuan

Jangankan memikirkan tiket pesawat, makan dua kali sehari saja sudah cukup. Konklusi sesat lainnya adalah menyimpulkan kesejahteraan masyarakat semakin meningkat.

Yang diributkan bukan lagi harga cabai atau bawang tapi sudah harga tiket pesawat terbang. Muncul pula gagasan untuk melakukan swastanisasi industri penerbangan.

Mengizinkan maskapai asing untuk ikut bersaing dengan pemain lokal.

Logikanya dengan adanya kompetisi maka maskapai penerbangan akan bersaing untuk memberikan pelayanan terbaik kepada konsumen. Harga tiket murah tentu salah satu dampak yang diharapkan.

Ini kondisi idealitas yang diharapkan. Namun, apakah idealitas selalu beriringan dengan realitas?

Selain itu harus ditimbang dengan takaran konstitusional, boleh atau tidak?

Tak bisa diingkari bahwa membangun infrastruktur butuh anggaran besar. Termasuk pula infrastruktur industri penerbangan.

Karena itu konstitusi jelas mengatur bahwa sama halnya bumi, air, dan kekayaan alam lainnya, segala hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Karena itu pula wacana mengundang maskapai asing, perlu ditimbang dengan neraca konstitusi secara matang sebelum diterima atau ditolak.

Baca: Sulsel Darurat Narkoba, BNN Janji Miskinkan Bandar

Kenaikan drastis harga tiket pesawat saat ini dinilai sebagai paradoks. Mengingat tahun-tahun sebelumnya tidak pernah terjadi.

Pertanyaannya apakah benar terjadi peningkatan yang sangat massif untuk pembangunan infrastruktur industri penerbangan kali ini?

Ataukah peningkatan kualitas layanan yang sangat signifikan, sehingga logika kenaikan harga tiket pesawat bisa diterima nalar?

Selain itu apakah terjadi kenaikan avtur, salah satu komponen biaya variabel dalam operasional yang sangat berpengaruh terhadap kenaikan harga? Jawabannya tentulah tidak.

Selain itu dengan mengkomparasikan harga tiket luar negeri, maka akan mudah menjawabnya.

Ternyata harga tiket pesawat ke luar negeri justru lebih murah. Ini bisa dicoba dengan menggunakan aplikasi Online Travel Agency (OTA).

Murahnya tiket pesawat di luar negeri salah satunya tidak bisa dilepaskan dari kemampuan manajerial perusahaan untuk inovatif dan kompetitif.

Baca: Demi Elpiji 3 Kg, Warga Bontoramba Jeneponto Rela Antre Hingga Larut Malam

Perusahaan mampu memangkas biaya-biaya yang tidak perlu.

Pada persoalan mengundang maskapai asing di satu sisi memang menguntungkan. Khususnya di sisi konsumen.

Namun melihat kondisi negara yang sisi produksinya masih rendah maka liberalisasi industri penerbangan sama dengan deindustrialisasi. Membunuh produsen lokal.

Namun demikian jangan sampai pula proteksi yang diberikan membuat produsen menjadi manja. Merasa dilindungi.

Tak ada kompetisi sehingga tak tercipta inovasi. Apalagi membuat produsen seenaknya menentukan harga.

Kondisi ideal yang mesti dilakukan adalah melindungi produsen lokal pada saat yang sama mendorong mereka untuk kompetitif dan inovatif.

Hipotesa yang paling masuk akal dari fenomena kenaikan harga tiket pesawat adalah kemungkinan adanya ‘main mata’ maskapai dalam penentuan harga.

Dalam bahasa ekonomi dikenal dengan kartel harga. Ini mudah dilakukan. Mengingat pasar untuk industri penerbangan terkategori pasar oligopoli.

Pasar oligopoli ditandai dengan sedikit pedagang di pasar, jenis barang sedikit seragam dan harga dominan ditentukan oleh produsen.

Baca: Komunitas Musiko, Ngamen Demi Kumpulkan Dana untuk Korban Bencana Banjir di Konawe

Baca: IPMAPI Siapkan Wadah Bantuan Pengurusan untuk Warga Pinrang Mau Kuliah di Jogja

Dengan struktur pasar seperti ini mudah saja pedagang untuk kongkalikong menentukan harga.

Harga terbentuk karena kesepakatan pedagang bukan karena mekanisme pasar: permintaan konsumen dan penawaran produsen.

Permintaan konsumen yang meningkat dimanfaatkan betul oleh produsen untuk menaikkan harga. Sedikitnya produsen tentu membuat posisi lebih kuat dibanding konsumen.

Lemahnya posisi konsumen membuat mereka tidak bisa berbuat banyak. Konsumen bisa apa?

Mencermati fakta ini maka tentu diharapkan kepada pemerintah dalam hal ini Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk melakukan investigasi akan hal ini.

Untuk membuktikan apakah benar ada kartel harga yang menyebabkan mahalnya harga tiket. (*)

Catatan: tulisan ini telah terbit di Tribun Timur edisi cetak, Sabtu (15/06/2019)

Berita Terkini