Sedangkan para pecandu/korban narkotika, sesuai Peraturan Presiden Nomor 111/2013, belum tercakup JKN.
Baca: 93 Siswa MAN Selayar UNBK Tanpa Sepatu
Tindak aparat hukum yang masih mengedepankan pendekatan keamanan turut memberi andil derasnya arus masuk kasus narkotika ke dalam penjara.
Temuan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) pada Pengadilan Surabaya tahun 2016, 61 persen dakwaan jaksa mempergunakan pasal 111 dan 112 UU Narkotika.
Pasal-pasal tersebut otomatis mengategorikan seorang pengguna sebagai ‘bandar’ sebab masa ancaman hukuman berkisar 4-12 tahun.
Riset LBH Masyarakat Tahun 2014 pun menunjukkan hal serupa, di mana 522 putusan hakim se-Jabotabek terhadap pengguna narkotika, hanya 43 orang yang direhabilitasi (Tempo, 3/11/17).
Revisi Aturan
Pemerintah mestinya memikirkan cara-cara efektif yang menekan ‘arus masuk’ WBP ke dalam penjara sekaligus memperbanyak pusat-pusat rehabilitasi narkotika sebagai alternatif solusi.
Ketika Presiden Amerika Serikat (AS) Ronald Reagan meneken UU Anti Narkotika 1986 yang memberlakukan hukuman minimum 5 tahun pada pengguna, populasi penjara AS meningkat drastis hampir sepuluh kali lipat hingga akhir dekade 1990an.
Jumlah itu baru berkurang setelah Presiden Obama meniadakan hukuman lewat UU Fair Sentencing Act pada 2010.
Tindakan Obama tersebut mengurangi populasi penjara AS hampir 1.500 orang pertahun dan menghemat keuangan negara sebesar 42 juta dolar (US CBO Cost Estimate, 2010).
Baca: 365 Siswa SMAN 1 Bantaeng Gantian UNBK
Baca: Bawaslu Luwu Timur Bakal Patroli Politik Uang di Masa Tenang
Aturan-aturan yang menambah ‘arus masuk’ ke penjara (PP 99/2012 dan Pasal-pasal UU Narkotika) harus direvisi secepat mungkin.
Ketimbang membangun penjara-penjara baru yang berbiaya tak sedikit, revisi tersebut pun sejalan dengan konsep ‘restorative justice’ yang dianut negara kita.
Yang kedua adalah meningkatkan kualitas dan kuantitas layanan rehabilitasi pecandu narkotika.
Bukan rahasia lagi, kewenangan rehabilitasi masih tumpang tindih antara Badan Narkotika Nasional (BNN), Kementrian Kesehatan (Kemkes) dan Kementrian Sosial (Kemsos).
Borok tersebut terkuak dalam sebuah kajian Ombudsman Republik Indonesia (ORI) tahun 2017.
Tiadanya standar nasional yang seragam serta acuan data yang berbeda-beda, membuat penyalahguna rentan diskriminasi layanan.