Tiket Pesawat Mahal, Bandara Mulai Sepi, Kemenhub Beberkan Penyebabnya, Sebut Harga Masih Wajar

Editor: Anita Kusuma Wardana
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Calon penumpang pesawat tujuan Makassar- Manado -Jogjakarta, memprlihatkan tiket pesawat yang telah dibelinya saat berada di bandara Sultan Hasanuddin.

TRIBUN-TIMUR.COM-Isu mahalnya tiket pesawat masih menjadi perhatian publik.

Hal ini tentu berpengaruh terhadap daya beli masyakarat, utamanya wisatawan.

Akibatnya, sejumlah bandara di Indonesia dikabarkan mulai sepi penumpang, termasuk di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar di Maros.

Kementerian Perhubungan (Kemenhub) pun menilai ada sejumlah sebab hingga kini harga tiket pesawat masih mahal.

Baca: TERPOPULER-Pilhan Ustaz Yusuf Mansur, Pendaftaran PPPK, Skripsi #2019GantiPresiden, dan Rocky Gerung

Baca: Login ssp3k.bkn.go.id, Tata Cara dan Alur Pendaftaran PPPK/P3K 2019, Lokasi dan Bocoran Materi Tes

Baca: Lowongan Kerja PLN, Lulusan S1/D4 dan D3, Daftar secara Online di Link Resmi ini, Waktu Cuma 4 Hari

Salah satunya karena siklus tahunan yang sedang terjadi.

Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Polana B Pramesti mengatakan, saat ini sedang terjadi fase musim sepi atau low season.

Ini biasanya terjadi dari Januari dan Februari. Oleh karena itu, banyak maskapai penerbangan yang memanfaatkan dan memaksimal tarif tiket sesuai tarif batas atas.

"Karena airline juga butuh 'hidup' dan itu salah satu sebabnya kenapa (tiket masih mahal). Sebenarnya tidak terlalu tinggi, masih batas wajar," kata Pramesti di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang Banten, Minggu (10/2/2019).

Pramesti menjelaskan, meskipun harga tiket pesawat masih dianggap mahal, namun yang jelas besarnya masih sesuai dengan paraturan pemerintah, yakni berdasarkan ketentuan PM 14 Tahun 2016 tentang Mekanisme Perhitungan Formula Perhitungan dan Penetapan Tarif Batas Atas dan Batas Bawah Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkut Udara Niaga Berjadwal dalam Negeri.

Sehingga masyarakat tidak perlu khawatir terkait hal ini.

Ilustrasi. Pesawat udara Lion Air parkir di apron Bandara Internasional Sultan Hasanuddin di Makassar, Sulsel. (TRIBUN TIMUR/SANOVRA JR)

"Kalau harga tiket selama ini tidak ada melanggar, masih sesuai dengan PM 14 Tahun 2016," ujarnya. Mengenai sepinya penumpang pesawat, Pramesti menyebutkan hal itu biasa.

Kondisi seperti ini berlangsung setiap tahun di Tanah Air dan negara lain. Secara perlahan, kondisinya akan berubah dan membaik.

"Kalau penurunan hampir setiap tahun, di dalam penerbangan itu terutama di Indonesia (pada) Januari dan Februari memang low season. Itu hampir siklus tahunan, nanti Maret mulai meningkat," sambungya.

Beberapa waktu lalu, mahalnya tiket pesawat menjadi sorotan publik. Apalagi kemudian muncul kebijakan pengenaan bagasi berbayar, meskipun sejumlah maskapai membatalkannya.

Tiket pesawat yang mahal diduga menjadi penyebab utama lesu atau sepinya pengguna moda trasnportasi akhir-akhir ini.

Bandara Sultan Hasanuddin Sepi

Dampak kenaikan harga tiket pesawat domestik disusul bagasi berbayar semakin nyata.

Bandara Sultan Hasanuddin Makassar di Mandai, Maros, semakin sepi.

AirNav Cabang Utama Makassar Air Traffic Service Center ( MATSC) mencatat, lalu lintas pesawat di SHIAM sejak serangan “wabah tiket", Desember 2018, berdampak pada menurunnya intensitas take off dan landing pesawat.

“Penurunannya di angka 15 persen. Angka pastinya berapa, nanti kita sampaikan. Namun kenaikan tarif pesawat menjadi penyebab utama,” kata GM AirNav Cabang Utama Makassar Air Traffic Service Center ( MATSC), Novy Pantaryanto, saat bertandang di redaksi Tribun Timur, Jl Cenderawasih nomor 430, Makassar, Sabtu (9/2/2019) petang.

GM AirNav Indonesia Cabang Utama MATSC, Novy Pantaryanto  (Fahrizal/Tribun)

Menurutnya, aktivitas pesawat pada Januari 2019 bila dibandingkan dengan bulan yang sama tahun lalu terjadi penurunan double digit.

Bahkan, bila dibandingkan rerata aktivitas pesawat per hari di 2018 dengan aktivtas pada Sabtu (9/2/2019) sangat jauh penurunannya.

“Sabtu ini hanya 270 pesawat, padahal di 2018 rerata per hari bisa 300-350 pesawat. Itu di SHIAM, pun di Bandara Seokarno-Hatta yang biasanya rerata per hari 1.200 pesawat, kini di bawah 1.000 pesawat,” kata Novy Pantaryanto.

Menurutnya, kondisi itu berdampak sistematik.

Jika tidak segera ditemukan jalan keluar, maka industri penerbangan terancam “gulung tikar”.

Seperti di Sulsel, kata Novy Pantaryanto, saat tarif pesawat naik, membuat alternatif tranportasi yakni Kapal Pelni laris manis.

Kondisi ruang keberangkatan di Bandara Sultan Hasanuddin Makasar di Mandai, Maros, sepi. (Ansar)

“Belum lama ini saya ketemu dengan GM Pelni di bandara. Katanya lagi panen pas tarif pesawat naik. Nah, kita tunggu saja apakah pihak maskapai yang menurunkan harganya, atau banyak pesawat yang terparkir karena keterisiannya sangat minim,” jelas Novy Pantaryanto.

Ini beralasan, kata Novy Pantaryanto, mengingat cost yang dikeluarkan maskapai untuk sekali terbang tidak sedikit.

Mulai dari bahan bakar, pajak manifest, biaya airport, pembayaran pilot dan pramugari.

“Biaya bahan bakar 50 persen dari biaya operasional. Makanya, beberapa pesawat dari maskapai menggabungkan penumpang dengan tujuan yang sama di waktu tertentu. Agar keterisian pesawat bisa mengcover biaya sekali jalan,” katanya.

Bila dilihat dari aktivitas pesawat di SHIAM, tentunya beberapa pesawat tidak beroperasi maksimal.

“Yah maksimal 12 jam perjalan per pesawat atau 6 kali terbang. Tarif naik, ada yang 4 jam saja beroperasi,” katanya.

Ia pun menghawatirkan, bila ini berlanjut, ada pesawat yang terparkir.

“Peristiwa ini memang berpegaruh pada pendapatan Airnav, tetapi mempermudah kami dalam mengaturnya,” katanya.

Selain itu, revenue atau pendapatan AirNav Cabang Utama MATSC didominasi dari penerbangan luar negeri.

“Sekitar 70 persen revenue kami dari pesawat luar negeri. Sisanya dari penerbangan domestik. Padahal. pengaturannya lebih banyak penerbangan domestik, namun inilah tugas dan bakti kami kepada negara,” jelas Novy Pantaryanto.

Penjual Suvenir

Rahmawati duduk tepekur di sekeliling dagangannya di lantai 2 Bandara Hasanuddin.

Di dinding toko seukuran 4x4 meter itu terpajang hiasan Kupu-kupu Bantimurung, beberapa kue tradisional Sulsel, markisa, dan kain tenun khas Toraja.

“Setiap hari toko sepi seperti ini,” ujar wanita berhijab itu.

Beberapa saat kemudian seorang lelaki dan seorang perempuan memasuki tokonya. Perempuan itu mengangkap beberapa kaos khas Sulsel.

Baca: UAS Dibaiat Tarekat Naqsabandiyah oleh Habib Luthfi, Sekarang Disapa Syekh Abdul Somad Ciri Khas NU

Baca: Apa Solusinya? Ratusan Jenderal dan Kolonel TNI Tanpa Jabatan Cuma Ikut Apel & Reaksi Jubir TNI

Baca: Jadwal Liga Inggris Malam Ini, Manchester United & Liverpool Lawan Mudah? Big Match City vs Chelsea

"Seperti inilah kondisinya. Sepi penjualan, sejak kenaikan harga tiket pesawat. Lebih banyak waktu menunggu dibanding melayani pembeli," kata Rahmawati.

Menurutnya, kebanyakan calon penumpang enggan beli oleh-oleh lagi karena terbebani biaya bagasi yang mahal.

Hanya orang tertentu yang mau membeli oleh-oleh, itupun jumlahnya sedikit.
Warga yang datang, hanya membeli oleh-oleh yang ringan, diantaranya gantungan kunci peta Sulawesi dan gelang.

"Orang mau belanja, tapi tidak jadi. Kebanyakan hanya mampir tanya harga lalu pergi. Mereka berpikir, biaya bagasi yang terlalu mahal. Mereka sudah dikenakan biaya tambahan, khusus barangnya saja. Makanya jarang mau beli oleh-oleh," jelas Rahmawati.

Jika biasanya omzet Rahmawati mencapai Rp 1,5 juta, sekarang hanya Rp 500 ribu.

"Kadang juga tidak cukup Rp 500 ribu omzetnya," ujar Rahmawati.

Dia berharap, kebijakan kenaikan harga tiket dipertimbangkan oleh pemerintah.

Pasalnya, jika harga tetap naik, maka pedagang terancam gulung tikar.

Alasannya, sejumlah pedagang di Bandara juga membayar sewa tempat. Jika penjualan tidak stabil, maka sangat berdampak pada pedagang.

"Kami harap, ada kebijakan atau pertimbangan pengurangan harga tiket, khususnya bagasi. Kami juga harus bayar tempat," katanya.

Selain sewa tempat, Rahmawati juga harus membayar tagihan listrik dan gaji karyawan.

Kenaikan harga tiket pesawat domestik dan penerapan bagasi berbayar, oleh hampir semua maskapai di Indonesia, menyebabkan jumlah penumpang di Bandara Sultan Hasanuddin, sepi.

Pasca-kenaikan harga tiket pesawat dua bulan terakhir, jumlah pengguna jasa maskapai berkurang hingga 17 persen, dibanding sebelumnya.

Hanya saja, General Manajer Angkasa Pura I, Wahyudi tidak mengetahui selisih angka jumlah penumpang, sebelum dan kenaikan harga tiket pesawat, Jumat (8/2/2019).

Baca: UAS Dibaiat Tarekat Naqsabandiyah oleh Habib Luthfi, Sekarang Disapa Syekh Abdul Somad Ciri Khas NU

Baca: Apa Solusinya? Ratusan Jenderal dan Kolonel TNI Tanpa Jabatan Cuma Ikut Apel & Reaksi Jubir TNI

Baca: Jadwal Liga Inggris Malam Ini, Manchester United & Liverpool Lawan Mudah? Big Match City vs Chelsea

"Berdampak (kenaikan harga tiket). Terjadi penurunan jumlah penumpang sekitar 17 persen. Kalau selisih (sebelum dan sesudah), angkanya saya belum cek," kata Wahyudi.

Hasil penelusuran TribunMaros.com, rata-rata jumlah penumpang setiap bulan, sebelum terjadi kenaikan tiket pesawat, mencapai 1,1 juta per bulan.

Hunian Hotel

Ketua Badan Pengurus Daerah (BPD) Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sulsel, Anggiat Sinaga, menuturkan, hunian hotel sejak Januari 2018 turun dratis.

"Rarata occupancy Januari 2019 hanya 37 persen, sementara Januari 2018 masih bisa tembus 48 persen. Penyebabnya, yang bisa kami lihat akibat harga tiket yang melambung tinggi," jelas GM Claro Hotel itu via pesan WahstApp, kemarin.

Dia berjanji menyuarakan kegelisahan itu dalam Rapimnas PHRI di Jakarta, yang dimulai Sabtu (9/2/2019) ini.

"Ada tiga isu utama yang akan dibahas besok (Sabtu, 9/2/2019) di Rapimnas PHRI yakni, harga tiket pesawat, bagasi berbayar, dan larangan kemendagri rapat di hotel akibat meeting Pemprov Papua di Jakarta," jelas Anggiat.

Menghadapi Februari, PHRI Sulsel tidak tinggal diam. Seminggu sudah, Makassar Kemilau digelar. Namun ia mengakui belum memberi efek.

"Karena mungkin promosinya belum masif, tapi memang kami sadari belum memberi efek untuk tahun ini. Mudah-mudahan tahun depan bisa lebih baik persiapannya dan bila perlu dilaunching di Kementerian Pariwisata bersama Pemerintah Makassar," ujarnya.

Tetapi paling tidak, kata dia, ini daya upaya dari stakeholder perhotelan untuk bisa lebih baik.

Senada dengan itu, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA) Sulsel, Didi Leonardo Manaba sangat terdampak dengan kenaikan tarif angkutan udara.

"Banyak yang cancel gara-gara tiket masih mahal. Jumlahnya banyak, mulai rombongan sampai individu," katanya.

Efek dari banyaknya pengguna jasa travel agent yang membatalkan booking berwisata ke Sulsel sangat dirasakan anggota ASITA lainnya.

"Meski kami tidak hitung statistiknya. Namun, secara tahunan terjadi penurunan sekitar 80 persen. Ini dibandingkan dari Januari 2018 dan 2019," katanya.

Ia tetap mendesak maskapai dan pemerintah. Serta tetap berpromosi dan semangat mengarungi awal tahun 2019. "Secara nasional ini akan dibahas di Munaslub Jakarta," katanya.

Garuda dan Sriwijaya Normal

Meski libur panjang natal dan tahun baru telah lama usai, tarif pesawat masih tetap tinggi.

Saking mahalnya, perjalanan udara dari Kualalumpur ke Jakarta lebih murah ketimbang dari Padang-Jakarta, Aceh-Jakarta.

Bahkan perjalan udara dari Jakata ke Bangkok-Thailanda lebih murah dibanding dari Makassar ke Surabaya.

Beberapa maskapai penerbangan membatalkan penerbangan dari Medan ke beberapa tujuan, terutama Jakarta, karena pesawat kosong tak ada penumpang.

Mahalnya harga tiket ditambah lagi dengan kebijakan maskapai menerapkan tarif bagasi yang dulunya gratis.

Namun hal ini mempengaruhi traffic penumpang Garuda Indonesia Makassar. Seperti yang diungkapkan Sales & Service Manager Garuda Indonesia Makassar, Ade nurman.

"Dalam kondisi seperti sekarang ini, traffic penumpang kami tetap stabil dan tidak ada penurunan," kata Ade.

Sementara Spv Sales Representative Sriwijaya Makassar, Mories Satudi, mengatakan harga tidak mempengarungi traffic penumpang.

"Kita malah naik yah traffic penumpangnya, dibandingkan Januari 2018 Vs Januari 2019 naik 14,5 persen. Intinya, saat ini masih normal, hanya beberpa flight kami cancel untuk maksimalkan revenue," jelas Ade.(*)

(Kompas.com/Tribun Timur/Ansar/Fahrizal Syam/Muhammad Fadly Ali)

Jangan Lupa Subscribe Channel Youtube Tribun Timur :

Follow juga akun instagram tribun-timur.com:

Berita Terkini