Tribun Wiki

TRIBUNWIKI: Profil Dosen FKM Unhas Yusran Amir, dan Kisahnya Saat Ikut Beasiswa Stuned di Belanda

Penulis: Desi Triana Aswan
Editor: Ina Maharani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

M Yusran Amir (kiri)

Laporan Wartawan Tribun Timur, Desi Triana Aswan

TRIBUNTIMUR.COM, MAKASSAR- Muhammad Yusran Amir merupakan dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat di Universitas Hasanuddin.

Kedatangannya, beberapa waktu lalu di redaksi Tribun Timur, menghantarkannya untuk memberikan informasi terkait beasiswa Stuned.

Beasiswa tersebutlah yang menghantarkan Yusran sapaan akrabnya meraih magister di Royal Tropical Institut Amsterdam.

Kepada Tribun Timur, ia mengisahkan perjalanan karirnya hingga akhirnya kembali ke Indonesia dan mengabdi sebagai seorang tenaga pengajar.

Masa Kecil

Muhammad Yusran Amir tumbuh dilingkungan pedesaan yang asri.

Ia memang lahir di kota, namun pamannya yang saat itu merupakan Asisten Intel Kejaksaan mengajaknya untuk ke Sidrap, salah satu kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan.

Ia kemudian mengenyam bangku pendidikan disana.

Bermain dan belajar seperti anak-anak pada umumnya.

"Kami diajak guru untuk turun tanam padi disawah sebagai salah satu pelajaran Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK)," kenangnya kepada Tribun Timur, Rabu (9/1/2019).

Sejak masuk sekolah dasar, kepintaran Yusran sudah terlihat.

Ia selalu mendapat rangking. Tidak hanya itu, jiwa petualangnya tergugah dan disalurkannya dengan kegiatan berkemah di Pramuka sekolahnya.

Ia senang menyatu langsung dengan alam. Yusran mengakui tidak pernah berkeinginan untuk kuliah diluar negeri.

Saat beranjak dewasa dan kuliah di Universitas Hasanuddin barulah ia terinspirasi oleh seorang senior bernama Safruddin Amin.

Ia mengatakan, Safruddin Amin lah yang mengubah pola pikirnya dan memiliki niat untuk berkuliah diluar negeri.

"Beliau Alumni Monash University Australia. Saya kagum sama beliau, cerdas dan tawadhu. Akhirnya saya semangat mau kuliah di Luar negeri juga setelah ketemu kak Safruddin Amin," ujarnya.

Berangkat ke Belanda

Setelah menamatkan kuliahnya di Unhas, Yusran mengikuti kegiatan sosialisasi beasiswa Stuned di Baruga Pettarani. Materi tentang beasiswa tersebut dipaparkan oleh Ketua tim Beasiswa, Mrs Monique S yang merupakan orang Belanda-Indonesia.

Awalnya Yusran pesimis untuk mendapat beasiswa tersebut. Dengan syarat yang menurut Yusran berat, mulai dari TOEFL dengan target skor 550.

Ia yang pada saat itu menjabat sebagai ketua Al Markaz membuat kursus TOEFL Gratis yang juga diikuti peserta tes beasiswa. Ia dibantu oleh Irvan Hudji, ahli TOEFL alumni Universitas Muslim Indonesia (UMI).

Perjuangan Yusran tidak sia-sia, saat melakukan tes TOEFL, ia berhasil mendapat kan nilai 553.

"Wah, saya terselamatkan dengan 3 point," terangnya. Akhirnya, ia memberanikan diri mendaftarkan diri melalui situs resmi Neso Indonesia.

"Beberapa saat kemudian saya kontak Universitas di Amsterdam untuk mendapat Letter of Acceptance (LoA)," katanya.

Ia pun mendapat kabar tentang kelulusannya.

"Alhamdulillah, Stuned memberi beasiswa penuh," ujar Yusran

Yusran begitu bahagia, dan langsung mengabari seluruh kerabatnya.  "Saya sujud syukur," katanya.

Dua Beasiswa

Yusran merupakan orang asli Jeneponto namun tumbuh besar di Sidrap. Di dalam anggota keluarganya belum pernah ada yang kuliah di Eropa.

Kebahagiaan para keluarganya sangat terasa, hingga membuatkan Yusran acara pengajian dan acara syukuran.

Setelah itu, Yusran mengurus berkas keberangkatannya mulai dari passport, visa, dan juga melalukan briefing dari Kedutaan Besar Belanda di Jakarta.

Sebenarnya pada saat itu, Yusran mengalami kebimbangan mengapa tidak, ia juga mendapatkan beasiswa Ford Foundation ke Amerika.

"Wah, jadi bingung milihnya, mau kuliah ke Eropa melalui Stuned atau ke Amerika melalui Ford Foundation," ujarnya.

Akhirnya, ia memutuskan untuk mengambil kuliah di negeri kincir angin itu.

Menurutnya, dengan beasiswa Stuned ia langsung berangkat untuk kuliah di Amsterdam, sedangkan For Foundation ia harus menjalani kursus selama setahun di Indonesian International Education Foundation (IIEF) di Jakarta.

"Saya pikir mending langsung kuliah saja daripada habis waktu kursus bahasa Inggris lagi," tuturnya.

Perjuangan di Belanda

Perjalanan Yusran pun dimulai, ia kemudian menuju Belanda. Kali pertama yang dirasakan oleh Yusran saat menaiki pesawat langsung menuju Eropa.

Ketika tiba, ia kemudian dikumpulkan bersama anak Indonesia yang juga lulus ke Belanda.

Saat bertemu di Bandara Schiphol, semua anak-anak beruntung tersebut melakukan sujud syukur.

Beberapa senior Stuned yang berangkat tahun lalu, menjemput Yusran bersama kawan-kawannya dan menjadi guide menuju kota Amsterdam.

Diakui Yusran, saat itu suhu udara begitu dingin karena masuk pada awal bulan September.

"Jaket kulit bulu domba saya rapatkan untuk menghalau dingin yang sudah turun ke 14 derajat," katanya.

Menurut, Yusran sangat sulit mendapatkan rumah dan asrama di kota tersebut.  Namun untunglah, ada yang membantunya dan menyawakan kamar di rumahnya.

Orang itu adalah Auke Fisser seorang warga Belanda. Yusran sudah menggapnya seperti ayahnya sendiri.

Auke Fisser bahkan mengangkat anak Yusran selama di Belanda.  Diakui Yusran, ayah angkatnya tersebut tidak menikah namun memiliki partner hidup.

"Sudah menjadi kebiasaan di Eropa, tidak menikah namun tinggal serumah," katanya.  Yusran tinggal di Amsterdam Barat tepatnya di Jl Baden Powellweg No 9 Osdorp.

Saat kuliah perdana, Yusran merasa sangat gembira.  Menurutnya, kuliahnya sangat menyenangkan, ia diberikan buku secara gratis bahkan memiliki jatah fotokopi buku gratis.

Dikelas hanya ada 22 orang, terdiri dari 14 negara. Beruntungnya, Yusran memiliki satu orang teman yang berasal dari Indonesia yaitu dokter Riby dari Papua mendapat beasiswa dari NGO khusus Kusta, NLR.

"Ada perasaan senang mempunyai teman dari beragam negara. Colombia, India, Vietnam, Zambia, Ethiopia, orang Belanda cuma 4 orang, Filipina, Indonesia, Tanzania, China," tuturnya.

Pada hari pertama tersebut, Yusran dikenalkan tentang budaya Eropa.

"Hari itu kami bertemu di kelas, dan sorenya kami keliling kota Amsterdam menggunakan kapal boat, kapal itu meliuk-liuk di kanal-kanal kota, singgah sejenak di depan Museum Datau menjelaskan sejarah kota Amsterdam yang berada tujuh meter dibawah laut," kenangnya.

Setelah kuliah perdana tersebut, Yusran pun semakin siap untuk mengahadapi satu tahunya di Belanda.

Menikmati pergantian suhu yang berbeda saat berada Indonesia.  Mempelajari karakter hidup orang di Belanda dan tentunya selalu merindukan Indonesia, khususnya keluarganya yang berada di Sulawesi Selatan.

Pernah suatu waktu ia membuat ayah angkatnya khawatir karena pulang terlambat karena menunggu bus yang tidak pernah datang pada malam salju yang turun dengan suhu minum 12 derajat.

"Akhirnya hampir jam 1 malam, sebuah bus malam berhenti di Halte setelah puluhan Escavator dikerahkan menghalau Salju yang sangat tebal.
Saya pulang kerumah, disambut ayah angkatku yang mulai cemas, kenapa anak kostnya terlambat pulang dihari itu," jelasnya.

Kenangan Wanita Turki

Meski tinggal di Belanda, Yusran mengaku orang Turki lebih membekas dalam ingatannya. Lantas saja, ia memiliki kenangan yang tidak bisa dilupakan hingga saat ini.

"Sewaktu di Amsterdam saya selalu shalat di Masjid Turki di Kawasan Oost Amsterdam.  Tanpa sepengetahuan ku, ada orang Turki yang selalu memperhatikan ku," katanya.

Hingga akhirnya mereka berkenalan dan sangat akrab.  Setelah beberapa waktu dari pengalaman tersebut, sang orang Turki itu menyampaikan niat untuk menjodohkan Yusran dengan anaknya.

"Saya berniat menikahkan kamu dengan anakku, sekiranya adik bersedia," kata Yusran menirukan orang Turki tersebut. Yusran sempat berdiskusi dengan keluarganya di Makassar.

Alhasil, lamaran tersebut ditolak secara halus. Yusran kembali ketujuan awal, yaitu ingin kuliah dengan fokus di Amsterdam.

Akhirnya pada tahun 2013, Yusran telah menyelesaikan studinya tepat setahun.  Waktu yang sudah ditetapkan oleh Stuned.

Mulai Jadi Dosen

Saatnya, Yusran kembali ke Indonesia.  Yusran bekerja di Dinas Kesehatan Makassar.

Ternyata, ide-ide progresif Eropa yang ada di kepala Yusran, nampaknya sulit ia terapkan di Dinkes Kota Makassar.

Sehingga pada tahun 2004 ia kemudian menghadap ke Rektor Unhas, Prof Radi A Gani di kantor beliau di Rektorat lantai 5.

Setelah bertemu, mereka berbicara lama tentang Unhas, Eropa dan kerjasama MoU dgn beberapa Universitas Eropa di Jerman, Belgia , Prancis dan Belanda.

Dari hasil pertemuan tersebut, Prof Radi menawarkannya untuk pindah profesi menjadi dosen.

"Wow, Saya seperti tak percaya pindah menjadi Dosen adalah sebuah cita-cita mulia untuk mewujudkan ide-ide progresif yang saya pelajari di Eropa," tuturnya.

Akhirnya pada tahun 2015 ia memutuskan untuk pindah dan mengabdi mendidik mahasiswa untuk masa depan bangsa yang lebih baik.

Yusran berharap ingin kembali kuliah, lanjut menjadi seorang Doktor dan Profesor dibidang Manajemen Kehatan Masyarakat.

Data Diri:

Nama: M Yusran Amir

Lahir: Ujung Pandang, 10 Juli 1974

Ayah: M Amir

Ibu: Adriani

Hobby: Tennis Meja

Akun media sosial:

Facebook: Yusran Amir

Pendidikan

  1. SD Negeri 3 Sidrap (1980-1986)
  2. MTsN 404 Makassar (1986-1989)
  3. SPK Depkes (1989-1992)
  4. S1: FKM Unhas 2000
  5. S2: Royal Tropical Institut Amsterdam (2002-2003)

Pengalaman Kerja:

  1. Dinas Kesehatan Kota Makassar 1993-2004
  2. Dosen di Universitas Hasanuddin , Fakultas Kesehatan Masyarakat, 2005-sampai sekarang

Riwayat Organisasi:

  1. Ketua Umum Al Markaz, MAKES 2000-2001
  2. Pendiri Hasanuddin English Debating Society (HEDS) 2000
  3. Pendiri Pasca Sarjana English Club' Unhas 2005-2006
  4. Ketua Harian Holland Alumni Network Celebes (HANCE) 2019

Berita Terkini