TRIBUN-TIMUR.COM - Mata uang rupiah unjuk gigi di tahun pemilu. Nilai tukar rupiah di pasar spot menguat 1,30% ke level Rp 14.084 per dollar Amerika Serikat (AS) pada Senin (7/1) pukul 08.42 WIB.
Bahkan pada pukul 11.00 WIB, Rupiah mampu menguat hingga Rp 13.990 per Dollar. Penguatan rupiah ini terjadi setelah kenaikan 1,02 persen pada Jumat (5/1/2019) pekan lalu.
Ekonom Maybank Myrdal Gunarto mengatakan, penguatan rupiah didorong oleh foreign money inflow seiring dengan aksi investor global yang kembali masuk ke pasar keuangan negara berkembang.
Foreign money inflow tersebut, dijelaskan Gunarto, yang menawarkan imbal hasil menarik serta valuasi bagus dengan latar belakang ekonomi yang cukup stabil dan solid.
Baca: Yuk Kenal Lebih Dekat Indo Botting Putra Gubernur Nurdin Abdullah, Karyanya Pernah Dipakai Jokowi
Baca: Untuk Pak Ogah di Makassar, Jika Masih Terus di Jalan, Ini Denda dan Ancaman Hukumannya
"Apalagi dalam beberapa hari terakhir, hasil rilis data ekonomi global mengecewakan dan imbal hasil obligasi Amerika Serikat semakin turun," ujarnya kepada Kontan.co.id, Minggu (6/1/2019).
"Karena ekspektasi kenaikan bunga The Fed yang lebih longgar karena komentar terakhir dari gubernur The Fed yang dovish," lanjutnya.
Tak hanya itu, Myrdal mengungkapkan alasan penguatan rupiah juga didukung oleh minat investor lelang SUN yang mencapai lebih dari Rp 55 triliun pekan lalu.
Analis Monex Investindo Futures, Putu Agus Pransuamitra melihat penguatan rupiah utamanya akibat adanya inflow ke Indonesia yang terlihat dari penguatan bursa saham Indonesia.
"Di sisi lain, rilis data aktivitas manufaktur Amerika Serikat sebesar 54,1 jauh turun dari sebelumnya 59,3. Hal ini menunjukkan potensi melambatnya ekonomi Amerika yang memberikan tekanan bagi dollar," ujar Putu.
Perang Dagang China-AS
Penguatan rupiah terjadi di tengah situasi pasar keuangan global yang diwarnai optimisme atas prospek hasil negosiasi kesepakatan sengketa dagang Amerika Serikat (AS) dan China. Serta perubahan sikap The Fed tas lintasan suku bunga AS ke depan.
"Tidak seperti sebelumnya yang tegas akan menaikkan suku bunga dua kali di 2019, paska jatuhnya harga saham di AS, kali ini The Fed menyiratkan lebih fleksibel dan akan menunggu perkembangan data ekonomi ke depan," jelas Nanang Hendarsah, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) melalui keterangan tertulis, Senin (7/1/2019).
Baca: Soal Peluang Kiper PSM Makassar Hilman Syah di Timnas Indonesia U-22! Indra Sjafri Bilang Begini?
Baca: Lolos Seleksi Timnas U-22, Hilman Syah Kiper PSM Makassar Dapat Perhatian Khusus Pelatih
The Fed, kata Nanang, siap melakukan perubahan dalam kebijakan suku bunga ke depan dan dan mulai melunak atas rencana proses penarikan likuiditas dari sistem keuangan.
Sebagaimana diketahui, sebagai bagian dari proses normalisasi kebijakan moneter pasca krisis 2018, sejak Desember 2017 The Fed dalam proses melepaskan kembali surat surat berharga yang diterbitkan swasta. Sebelumnya, surat berharga tersebut dibeli The Fed untuk mengatasi krisis keuangan 2008/2009.
Artinya tengah terjadi penarikan likuiditas dari sistem keuangan. Surat berharga milik swasta yang ada pada neraca The Fed sampai saat ini baru turun ke US$ 3,86 triliun per Januari 2018, dari US$ 4,2 triliun yang bertahan sejak Januari 2014.
"Bila penarikan likuiditas dari sistem keuangan dilakukan terlalu cepat maka dapat menimbulkan keketatan dollar di seluruh dunia," jelas Nanang.
Meski kondisi ekonomi AS semakin solid, namun diperkirakan tidak akan tetap kuat menahan pelemahan ekonomi global bila ekonomi Eropa, Jepang, dan China semakin kehilangan tenaga.
Industri AS Melemah
Memang data ekonomi AS terakhir masih menunjukkan kondisi yang solid. Namun, sektor industrinya mulai melemah, terindikasi dari penurunan indeks Purchasing Manager Index (PMI) dan ISM (Institute of Supply Management).
"Bahkan berbagai indikator manufaktur di Eropa dan China semakin menunjukkan kemerosotan sebagai indikasi perang dagang mulai menimbulkan efek negatif," jelas dia.
Baca: Viral Oknum Atasnamakan Suporter PSM Ikut Deklarasi Dukung Paslon Presiden, Ini Reaksi Suporter KVS
Baca: Sistem Baru Bikin Semrawut, Kadis Dukcapil Makassar: Masyarakat Sempat tak Mau Antre
Sentimen positif dari kesepakatan perang dagang, perubahan sikap The Fed, dan berbagai perkembangan data ekonomi tersebut mendorong terjadinya pelemahan nilai tukar dollar AS secara menyeluruh, penguatan indeks saham global dan kenaikan yield US Treasury.
BI tetap memberikan ruang bagi rupiah untuk menguat, dan mengawal penguatan tersebut termasuk dengan membuka lelang Domestic Non-deliverable Forward (DNDF) dan dilanjutkan dengan intervensi bilateral melalui delapan broker secara firm.
Meningkatnya aktivitas BI di pasar DNDF, selain untuk memastikan kurs offshoreNDF terkendali, juga sebagai dukungan penun bagi berkembangnya pasar DNDF agar lebih likuid dan efisien.
Sudah terdapat 13 bank yang aktif di pasar interbank DNDF, sejumlah investor asing bertransaksi untuk hedging investasi di saham, dan sejumlah korporasi termasuk satu BUMN sudah melakukan transaksi. Selain dalam dollar AS, transaksi DNDF nasabah juga sudah ada yang melakukan dalam yen dan euro.
"Bila transaksi DNDF ini terus berkembang dan banyak digunakan untuk hedging makan akan membantu men-smoothing pembelian valas di dalam negeri, sehingga rupiah bisa lebih stabil," pungkas Nanang. (*)
Tulisan ini telah terbit di Kontan.co.id dengan judul Rupiah makin perkasa di level Rp 14.084 per dollar AS