Ayah Tewas saat Atraksi
Sungguh tragis.
Theo Mandagi, ayah Petra, tewas justru pada saat sedang merayakan pemecahan rekor terjun payung kerjasama di udara yang dilakukan 100 penerjun dari 17 negara.
Kejadiannya pada 11 Agustus 2004.
Setelah berhasil memecahkan rekor, sejumlah penerjun lalu berinisiatif melakukan sunset jump, yakni terjun bersama-sama menjelang matahari terbenam.
Ajal tak dapat ditolak, payung Theo tidak membuka dengan sempurna. Akibatnya tubuh ayah dua anak ini meluncur bebas dan kemudian menghujam ke rawa-rawa di dekat Bandara Internasional, Ngurah Rai, Badung, Bali.
"Waktu itu saya memang mulai gelisah. Saya tidak melihat payung papa di antara penerjun," ujar Petra, putra Theo.
Ketika perasaan itu dikemukakannya, sang kakak, Pingkan, mencoba menenangkan dengan mengatakan dia tadi melihat payung papa mereka sudah mendarat.
"Saya kaget ketika melihat ternyata penerjun yang payungnya tidak mengembang itu Theo Mandagi," ujar Effendi Soen, sahabat Theo, yang waktu itu berada di lokasi.
Bahkan kamerawan TVRI itu sempat mengambil gambar detik-detik tubuh Theo meluncur ke bumi.
"Padahal sehari sebelumnya Theo bilang walau usianya sudah di atas 55 tahun, dia merasa masih sangat fit dan mampu terjun lima kali sehari," ungkap Effendi.
Kematian Theo seakan melengkapi tragedi yang dialami keluarga Mandagi.
Sebab pada 18 Mei 1986 tiga saudaranya sudah lebih dulu menghadap Sang Khalik akibat pesawat yang mereka tumpangi jatuh di Serpong, Tangerang, Banten.
Dalam peristiwa itu pilot dan seluruh penumpang tewas, termasuk tiga Mandagi bersaudara: Robbie, Alfred alias Woddy dan Chrisye.
Pasalnya, selain merupakan drama kehidupan yang luar biasa, Mandagi Bersaudara sudah menjadi ikon olahraga terjun payung di Indonesia.