Naskah atau Isi Khutbah Idul Adha 2018 oleh Prof M Qasim Mathar di Pelabuhan Makassar

Editor: Edi Sumardi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Prof M Qasim Mathar

TRIBUN-TIMUR.COM - PT Pelindo IV (Persero) Cabang Makassar menggelar shalat Idul Adha 1439 H di area Pelabuhan Makassar, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (22/8/2018).

Salat Ied rencananya akan dimulai pada pukul 06.30 Wita itu.

Bertindak sebagai imam, yakni Hasan Basri, sementara khatib adalah pengajar dari UIN Alauddin, Prof M Qasim Mathar.

Sebelum menyampaikan khutbahnya di hadapan jamaah, Qasim mengirimkan naskah khutbahnya kepada Tribun-Timur.com, Selasa (21/8/2018) siang.

Berikut isi khutbah beliau.

UMAT ISLAM DEWASA DALAM BERAGAMA DAN BERDEMOKRASI

KHUTBAH IDUL ADHA

10 Zulhijjah 1439 H/22 Agustus 2018 M

Di Pelabuhan Makassar

Oleh: M Qasim Mathar

 Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Allah Maha Besar.

Semua puja-puji adalah milik Allah.

Tiada tuhan selain Dia.

Salam sejahtera kepada Nabi Muhammad, Rasul Allah.

Salam sejahtera juga kepada keluarga Rasul, para sahabatnya dan semua orang yang mengikuti petunjuk dan teladan Nabi.

Bertakwalah kepada Allah dengan ketakwaan yang benar.

“Hai orang-orang beriman, jauhi kebanyakan prasangka, karena sungguh sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan jangan menggunjing satu sama lain…” (Alquran, s. Al-Hujurat/49: 12)

“Jangan kamu mengikuti apa yang kamu tidak punya pengetahuan tentangnya. Sungguh pendengaran, penglihatan, dan hati akan dimintai pertanggungjawaban” (Alquran, surat Al-Isra/17: 36)

Baca: Daftar Ucapan Selamat Hari Raya Idul Adha 2018 yang Bikin Adem, Sangat Cocok untuk Medsos

“Hai orang-orang beriman, saat kamu berjuang di jalan Allah, lakukanlah upaya mengkonfirmasi (berita yang kamu dengar,…)” (Alquran, surat An-Nisa/4: 94)

“Jangan kamu ikuti siapa saja yang suka menyumpah dan suka menghina, yang banyak mencela dan kian kemari menghambur fitnah” (Alquran, surat  Al-Qalam/68: 10-11)   

Kita kini sedang hidup di zaman milenial. Yaitu pergantian penting dua generasi: Generasi X (Gen-X) – generasi yang lahir sejak tahun 1980 hingga 1990-an - ke Generasi Y (Gen-Y) – generasi yang lahir ketika manusia masuk ke millennium kedua atau tahun 2000.

Bahkan, ada pendapat, kita sudah di Generasi Z (Gen-Z). Khatib tidak mau ikut dalam perdebatan para ahli tentang definisi ketiga generasi itu. Yang jelas kita sedang berada di zaman manusia lebih individual, lebih global, berpikiran lebih terbuka, lebih merdeka, lebih liberal, lebih mengakrabi teknologi.

Inilah generasi di mana teknologi media sosial (medsos), seperti: internet, Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp, dan lain-lain, sudah mirip agama, ditaati, disakralkan (disucikan) sebagai sumber kebenaran.

Tiba-tiba muncul orang hebat karena viral di medsos.

Baca: Niat dan Tata Cara Shalat Idul Adha 2018, Bedakan Jumlah Takbir Rakaat I dan II

Tiba-tiba tampak keburukan orang yang sebelumnya dihormati, karena viral di medsos.

Teman-teman kita meminta kita men-share, membagikan dan menyiarkan tulisan, gambar, video, berita yang mereka kirim. Kitapun dengan cekatan memviralkan, menshare, menyiarkannya tanpa periksa, tanpa konfirmasi, tanpa tabayyun. Inilah zaman, dengan teknologi dan medsosnya, kaum muslimin ikut-ikutan menyiarkan hoax, kebohongan, fitnah, provokasi yang tidak bertanggungjawab.

Prasangka yang bermuatan dosa, mencari-cari keburukan orang, bergunjing, cerewet tanpa tahu persoalan, mengompori cela mencela, sumpah menyumpah, meramaikan fitnah yang beredar, adalah semua itu, boleh jadi, menjadi tradisi baru kita di era milenial ini, melalui barang produk teknologi yang kita miliki (handphone, smartphone, tablet, dan lain-lain).

Sangat mungkin, apalagi pada saat ini, ketika bangsa kita berada di tahun-tahun politik, pilkada serempak yang belum lama telah dilaksanakan dan pilpres dan pileg yang akan kita laksanakan pada April tahun depan, istilah seperti umat dan ulama, diperdebatgunjingkan sarat dengan kepentingan politik masing-masing dari mereka yang memperdebatgunjingkannya.

Alquran menerangkan kata “ummat” dengan pengertian yang jauh lebih luas dari sekedar berarti kelompok manusia. Perhatikanlah ayat Alquran yang artinya sebagai berikut:

“Dan tidaklah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya kecuali umat-umat juga seperti kamu, .…” (surat Al-An’am/6: 38)  

Perhatikan pula penjelasan Alquran mengenai ulama sebagai berikut:

“Tidakkah kamu melihat bahwa Allah menurunkan air dari langit, lalu dengan air itu Kami hasilkan buah-buahan yang beraneka macam jenis. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada pula yang hitam pekat.”

“Dan demikian pula di antara manusia, makhluk yang bergerak yang bernyawa, dan hewan-hewan ternak, juga bermacam-macam warna dan jenisnya; yang takut kepada Allah dari antara hamba-hambaNya itu hanya ilmuwan (ulama), sungguh Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun” (surat Fathir/35: 27-28)

Amboi, sangat disayangkan, di zaman milenial dan tahun politik ini, umat dan ulama dipotong-potong dan terbelah menurut belahan partai politik.

Masing-masing pihak politik mengklaim diri sebagai representasi (wakil) dari umat dan ulama.

Bolehkah kita membiarkan umat dan ulama merdeka memilih partai dan calon pemimpinnya masing-masing, tanpa mengejek pihak-pihak yang berbeda itu?

Bolehkah umat dan ulama juga semakin dewasa di dalam berpolitik, dengan tidak pula mengejek umat dan ulama yang berbeda pilihan politiknya?

Bukan hanya di partai Islam terdapat umat dan ulama.

Di partai non-Islam pun terdapat umat dan ulama.

Pada zaman Orde Lama, banyak umat Islam menjadi anggota dan pengurus PKI (Partai Komunis Indonesia) atau partai-partai sekuler pada zaman itu.  Janganlah kiranya, karena sikap kerdil dan kekanak-kanakan para politisi menjadikan citra umat dan ulama yang maknanya luas dan luhur di dalam Alquran, tercemar dan busuk oleh kebencian dan permusuhan.

Untuk belajar tentang beragama yang luhur, mari kita tengok peristiwa sejarah yang menyebabkan kita duduk di sini untuk beribadah Idul Adha (Idul Qurban).

Perhatikan firman Allah yang artinya sebagai berikut:

“Maka ketika anak itu (Ismail) telah sampai ke usia sanggup berusaha bersama ayahnya, (Ibrahim) berkata: Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi aku menyembelihmu; maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu? Dia (Ismail) menjawab: Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.

“Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipisnya (untuk menyembelihnya atas perintah Allah)”.

“Lalu, Kami panggil dia: Hai Ibrahim!”.

“Sungguh engkau telah membenarkan mimpi itu. Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”

“Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.” “Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”

“Dan Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) bagi orang-orang yang datang kemudian.”

“Salam sejahtera bagi Ibrahim!” (surat Ash-Shaffat/37: 102-109)

Adakah contoh ketaatan kepada Allah melebihi ketaatan rela menyembelih anak sendiri, dan rela disembelih oleh ayah sendiri, demi ketaatan kepada Allah?

Hadirin, ternyata Allah, dengan peristiwa Ibrahim dan putranya, Ismail, tidak membenarkan adanya syariat menumpahkan darah dan mencabut nyawa manusia demi bukti ketaatan kepada Allah.

Kenapa pada zaman milenial ini, ada orang melakukan bom bunuh diri bersama anaknya demi “jihad” dan “syahid” di jalan Allah, gara-gara anti republik, anti nation state (negara bangsa), anti demokrasi, anti Pancasila, anti asing, anti modernitas, anti Barat, anti lain-lain, dan sebagainya.

Syariat Ibrahim soal penyembelihan sebagai digambarkan oleh Alquran, cukup menerangkan kepada kita bahwa bukti ketaatan yang paling tinggi pun kepada Allah, Allah tidak membenarkan nyawa manusia dikorbankan.

Jalan luhur dalam agama tidak membenarkan kekerasan dan pengorbanan nyawa manusia sebagai syariat.

Memang benar ada orang mati syahid dalam perang dan konflik pisik karena membela haknya (kebenaran).

Tapi orang itu pasti terbunuh (dibunuh). Bukan sengaja atau membiarkan dirinya terbunuh. Orang syahid demikian hanya kalah dalam  mempertahankan hidupnya.

Mati terbunuh berbeda dengan sengaja bunuh diri, seperti tindakan bom bunuh diri.

Melalui khutbah ini, saya mengajak umat, ulama, jamaah, dan warga negara untuk berdemokrasi secara dewasa.

Kita sudah memilih demokrasi sebagai sistem bernegara.

Khususnya sebagai sistem di dalam memilih pemimpin.

Demokrasi yang sehat tidak menyukai pemaksaan dan kekerasan.

Demokrasi menjunjung dan memberi ruang kepada perbedaan.

Agar kita terhindar dari pemaksaan dan kekerasan, dan kita menerima perbedaan, demokrasi mensyaratkan ketaatan kepada hukum dan aturan.

Hanya politisi busuklah yang biasa mendorong umat, ulama, dan warga mempraktikkan demokrasi secara serampangan (pemaksaan, kekerasan, mengotori perbedaan, dan melanggar hukum).

Dan, hati-hati hadirin yang mulia. Di zaman milenial ini, demi kepentingan politik, hoax atau kebohongan pun sudah dipakai di dalam dakwah.

Ada baiknya kita mempertimbangkan pendapat ulama besar, Imam Syatibi (wafat 790 H/1388 M), yang mengatakan bahwa yang maslahah pasti adalah syariat; yang mengandung dan membawa mudarat pasti bukan syariat.

Karena itu, jika prinsip Syatibi dipakai, maka sekalipun itu dikatakan berasal dari agama tapi membawa mudarat, tentu itu bukan syariat.

Atau, sekalipun itu bukan (berasal) dari agama, tetapi membawa maslahah, maka itu tentu sesuai (tidak berlawanan dengan) syariat.

Akhirnya, saya mengajak umat Islam dan para cerdik-pandai (ulama), para pemuka/pemimpin, serta kawan-kawan muballigh, dai, dan para ustaz, untuk beragama dan berdemokrasi secara dewasa.

Melakoni agama dan demokrasi dengan tanpa pemaksaan, kekerasan, dan prasangka, tidak mencari-cari keburukan orang, menjauhi kesenangan mencela dan menebar fitnah, hoax dan membiasakan diri untuk memeriksa, mengkonfirmasi dan bertabayyun atas berita dan isyu yang bersimpang siur di era milenial ini.   

Pada bagian akhir khutbah ini, mari kita sama-sama berdoa:

Ya Allah, berilah kami petunjuk bahwa kebenaran itu adalah benar dan beri kami kesanggupan untuk mengikutinya.

Beri juga kami petunjuk bahwa kebatilan itu adalah batil dan beri kami kemampuan untuk menjauhinya!

Ya Rabbana, janganlah ada kedengkian di hati kami terhadap orang-orang yang beriman; ya Rabbana, Engkau Maha Pengasih, Maha Penyayang!

Ya Tuhan kami, ampuni dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan, kukuhkan pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum kafir!

Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau bersalah; jangan Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana beban itu dirasakan oleh orang-orang sebelum kami; ya Tuhan, janganlah Engkau pikulkan kepada kami sesuatu yang kami tak sanggup memikulnya; maafkanlah kami, ampuni kami dan rahmati kami, Engkau Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum kafir!

Ya Allah, ampuni muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat, yang masih hidup dan yang telah mati, Engkau Maha Mendengar dan merespons doa-doa!

Rabbana, Tuhan kami, beri kami kebaikan dunia dan akhirat, dan lindungi kami dari azab Neraka!.(*)

Berita Terkini