Refleksi Ramadan

REFLEKSI RAMADAN (22): Lailatulkadar Tidak Datang Begitu Saja, Perlu Pengondisian Jangka Panjang

Editor: AS Kambie
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wahyuddin Halim

Oleh
Wahyuddin Halim
Antropolog Agama UINAM

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Rudolf Otto, seorang ahli teologi agama-agama, meringkaskan perasaan manusia terhadap Tuhan ke dalam dua konsep yang terkenal dalam studi agama-agama. Kegentaran terhadap kedahsyatan Tuhan atau mysterium tremendum. Dan, keterpesonaan terhadap Tuhan yang menggemarkan atau mysterium fascinosum.

Jadi, Tuhan dilihat sebagai pribadi yang sekaligus menggentarkan dan menggemarkan. Dalam Islam, kedua bentuk perasaan itu terangkum dalam dualitas sifat Allah: jalal (keagungan) dan jamal (keindahan).

Kegentaran pada keagungan Tuhan dan keterpesonaan pada keindahan-Nya membuat manusia tidak pernah berhenti berupaya menyibak tirai yang menghalangi pandangannya untuk menyaksikan dunia metafisik (dunia di balik yang fisik) atau alam gaib di mana Tuhan dipercaya bertakhta.

Ahli metafisika-sufi, Frithjof Schuon (1992) menyatakan, “Suka atau tidak, hidup kita dilingkupi oleh misteri-misteri yang secara logis dan eksistensial membawa kita kepada transendensi”.

Nah, lailatulkadar (lailah al-qadr) adalah salah satu misteri dalam kehidupan Muslim yang dapat membawa kepada transendensi, atau perlintasan keluar dari semata ranah pengalaman mental-fisikal.

Karena merupakan misteri, peluang interpretasi tentang waktu, makna, dan hakikat lailatulaqadar itu selalu terbuka dan oleh siapa saja. Para ulama telah menulis ribuan jilid buku yang mengurai misteri ini.

Memasuki paruh ketiga Ramadan, para mubalig pun sontak ganti topik, menjelaskan tanda-tandanya dan tirakat yang harus dilakoni agar dapat diperjumpakan dengannya.

Sejatinya, yang paling otoritatif menjelaskan tentang peristiwa itu mereka yang pernah merasakan ‘kehadirannya’ secara personal.

Namun, sulit sekali mengetahui apakah ulasan yang begitu melimpah tentang itu, sejauh ini, memang didasarkan pada pengalaman pribadi atau sekedar interpretasi berdasarkan teks-teks agama.

Rasanya, saya belum pernah ‘kehadiran’ malam yang lebih mulia dari seribu bulan itu. Kalau pun pernah, berarti saya yang tidak menyadarinya.

Tapi, jika pun seorang benar-benar pernah menyaksikannya, dia tentulah takkan begitu mudah mengobral cerita tentangnya. Dalam tasawuf ada adagium, orang yang tidak tahu, berbicara; orang yang tahu, tidak berbicara.

Namun, jika teks-teks agama yang sudah bermakna jelas saja masih dapat ditafsirkan, apalagi sebuah misteri seperti lailatulkadar ini.

Dalam penjelasan klasiknya, orang yang terjaga dan beribadah di momen lailatulkadar akan memeroleh anugerah dan pahala yang melimpah. Doa-doa yang dipanjatkan juga akan dikabulkan Allah secara spontan.

Ada yang percaya lailatulkadar akan mendatangi seseorang secara acak atau kebetulan, seperti permainan dadu atau judi. Jadi, walau sepanjang malam main game online di warkop, misalnya, seseorang tetap berpeluang (atau ngarep) bakal disapa lailatulkadar.

Saya condong ke pandangan sebaliknya. Bahwa untuk merengkuh lailatulkadar, perlu pengondisian jangka panjang dalam bentuk pertobatan diri, penyucian hati, dan penempaan ruhani.

Dengan begitu, kedatangan atau kehadiran lailatulkadar bukan lagi harus ditunggu-tunggu dengan penasaran, tapi dapat dijemput atau direkayasa dengan perencanaan.(*)

Berita Terkini