Oleh
Wahyuddin Halim, Antropolog Agama UINAM
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Menjalani bulan Ramadan di negeri di mana kaum Muslim adalah minoritas punya tantangan dan kesan tersendiri.
Selama kuliah pascasarjana di tiga negara Barat, saya tetap dapat menjalankan ritual Ramadan dengan baik.
Di sini dan edisi berikutnya, saya menuliskan secara ringkas kesan Ramadan di tiga negara itu. Saya awali dengan Kanada.
Kesan pertama berkaitan dengan durasi berpuasa.
Saya bersyukur, saat kuliah S2 pertama di Kanada, Ramadan kebetulan bertepatan dengan musim dingin di belahan bumi utara. Makanya, waktu berpuasa sedikit lebih pendek daripada di Indonesia. Waktu imsak jatuh pada sekisar jam tujuh pagi dan berbuka jam lima sore.
Kampus saya, Universitas Dalhousie, terletak di kota kecil Halifax, ibukota provinsi Nova Scotia.
Provinsi paling timur Kanada ini berbatasan dengan Lautan Atlantik, dekat lokasi tenggelamnya kapal Titanic. Di musim dingin, cuaca bisa turun hingga minus 25 derajat Celcius. Ketebalan salju bisa mencapai lebih satu meter dalam sekali hujan salju.
Saat di sana pada 1999-2001, jumlah warga Muslim di Halifax hanya sekitar 4.000-an. Pada periode yang sama, di seluruh Kanada, baru ada sekitar setengah juta Muslim.
Sensus terakhir (2011) menyebut jumlah Muslim di Kanada sudah lebih satu juta orang. Sekitar 3.2% dari seluruh jumlah penduduk Kanada, menjadikan Islam agama terbesar kedua setelah Kristen. Sekarang tentu jauh lebih banyak lagi. Umumnya, mereka imigran atau keturunan imigran asal Pakistan, Bangladesh, India, Iran, Mesir, Libanon dan Afrika Utara.
Di akhir tahun 1990-an, seingat saya hanya ada puluhan orang Muslim asal Indonesia. Umumnya mahasiswa, yang lainnya dosen, pekerja, dan perempuan yang bersuamikan warga setempat.
Saat Ramadan, takkan dijumpai semarak simbolik Ramadan seperti di Indonesia. Tidak ada suara speaker masjid menggemakan azan ke seantero kota. Atau siaran radio dan televisi lokal yang bernuansa Ramadan.
Di masa itu, salat lima waktu dan tarawih berjamaah untuk seratusan orang hanya dapat dilakukan di satu masjid kecil di kota Dartmouth.
Sekitar tujuh kilometer dari pusat kota Halifax. Masjid ini bagian dari sekolah Islam the Maritime Muslim Academy. Untuk ke sana di malam hari saya biasanya menumpang di mobil kawan sesama mahasiswa Indonesia. Transportasi umum sudah berhenti operasi pada jam 8:00 malam.
Untuk salat Jum’at, kampus saya mengizinkan penggunaan lantai dua Gedung Senat Mahasiswa sekali seminggu. Khatibnya bergantian orang Arab Mesir dan Pakistan.
Untuk salat idulfitri dan iduladha, perhimpunan Muslim setempat biasa menyewa gedung olah raga indoor (jika cuaca terlalu dingin) atau lahan parkir yang luas (jika cuaca cukup hangat). Khotbah id disampaikan dalam bahasa Arab dan Inggris oleh khatib asal Timur Tengah.
Selain sesekali salat tarawih di masjid Dartmouth, mahasiswa Indonesia juga rutin mengadakan acara buka bersama dan tarawih keliling.
Makanan buka puasa dibawa oleh masing-masing keluarga, disebut sistem potluck. Sambil menunggu waktu berbuka, ada ceramah agama. Saya biasanya mendapat tugas itu. Mungkin karena saat itu saya satu-satunya sarjana jebolan perguruan tinggi Islam.
Walhasil, walau senyap dari semarak simbol Ramadan, pintu restoran tetap terbuka lebar, dan para warga setempat tidak tahu cara menghargai orang berpuasa, kami tetap dapat menjalankan ibadah puasa dengan penuh, lancar dan hikmat.(*)