OPINI

OPINI Dr Naidah Naing: Perempuan dan Bom Bunuh Diri

Editor: Jumadi Mappanganro
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dr Naidah Naing ST MSi IAI

Oleh: Dr Naidah Naing ST MSi IAI
Dosen Universitas Muslim Indonesia - Anggota Forum Dosen Majelis Tribun Timur

Sepekan terakhir ini negara kita diguncang peristiwa bom bunuh diri di beberapa tempat. Dimulai dengan peristiwa tiga gereja di Surabaya.

Salah seorang pelakunya adalah perempuan, Puji Kuswati yang dicatat sebagai perempuan pertama di Indonesia yang menjalankan tugas sebagai pengebom bunuh diri.

Malam harinya, terjadi ledakan di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo, Jawa Timur. Pada kasus ini, seorang perempuan (istri dari pelaku bom) dan seorang anaknya tewas terlebih dulu akibat ledakan.

Satu hari sebelumnya, Sabtu (12/5), polisi menangkap dua perempuan yang diduga sebagai pengikut Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Keesokan harinya, perempuan yang dicatat sebagai pengebom bunuh diri lainnya adalah Tri Ernawati yang meledakkan diri di gerbang kompleks Markas Polrestabes Surabaya, Senin pagi (14/5/2018).

Baca: Kemenag Ternyata Rekomendasikan 2 Penceramah Ini: Eks Terpidana Korupsi & Orang Meninggal Tahun Lalu

Dua tahun sebelumnya pada 10 Desember 2016 Dian Yulia Novi adalah perempuan pertama di Indonesia yang mencoba menjadi ‘pengantin’, sebutan untuk pelaku bom bunuh diri.

Rencana Dian gagal. Dian ditangkap aparat saat merencanakan serangan bom bunuh diri ke Istana Negara.

Dari semua peristiwa yang ada, melibatkan kelompok teroris yang diantaranya adalah perempuan.

Pelibatan perempuan (istri) dalam aksi bom bunuh diri bukanlah hal yang baru tapi serangan bom bunuh diri yang melibatkan perempuan sebagai pelaku aktif merupakan fenomena baru di dalam peta aksi teror di Indonesia.

Mengapa perempuan?
Perempuan dianggap efektif karena lebih sedikit dicurigai ketimbang laki-laki. Bahwa petugas keamanan di sebuah tempat misalnya, jarang menggeledah tubuh perempuan saat memasuki sebuah tempat atau menyeberangi sebuah perbatasan.

Sifat umum perempuan yang selalu bergantung pada suami dalam pengambilan keputusan dan cenderung tidak independen menyebabkan perempuan rentan terhadap radikalisme.

Fenomena bom Surabaya membuktikan peran perempuan dalam gerakan radikal tak lagi bersifat individual, melainkan sebagai pelaku utama yang memiliki kekuatan.

Baca: OPINI: Dampak Nikah Dini di Sulsel

Selama ini fokus pemberantasan terorisme diarahkan k ekaum laki-laki. Keterlibatan perempuan yang memposisikan diri sebagai pendukung terorisme, baik sebagai perekrut maupun korban, luput dari perhatian.

Penelitian yang dilakukan Institute for Policy of Conflict (IPAC) tahun lalu menunjukkan perempuan Indonesia mulai mengambil peran dalam tindak ekstrimisme dan radikalisme, bahkan beberapa dari mereka ingin menjadi pembom bunuh diri.

Halaman
123

Berita Terkini