M Qasim Mathar
Guru Besar UIN Alauddin Makassar
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Ssebagai ilmu, seperti semua ilmu pengetahuan lainnya, politik adalah sesuatu yang baik. Politik mengajarkan, misalnya, bagaimana kekuasaan diperoleh dan dikelola dengan baik dan benar. Lalu mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan bagi segenap manusia yang bernaung di bawah dan sekitar kekuasaan itu.
Sayangnya, apa yang baik dan benar menurut ilmu politik, mengalami hal kebalikannya ketika politik dipraktikkan melalui partai politik dan agenda politik, seperti pilkada dan pemilu.
Praktik politik yang tidak selalu bersejalan dengan kebaikan politik dalam ilmu politik, melahirkan kosakata seperti money politics, mahar politik, dan sebagainya yang mengundang rasa muak melihat politik dipraktikkan.
Pilkada tahun ini sudah terasa panasnya jauh sebelum masa pendaftaran para kandidat pada hari-hari ini. Marwah (martabat) partai politik tampak merosot oleh perilaku petinggi dan pengurusnya yang membiarkan partainya persis kue onde-onde murahan yang dijual di kedai kotor di sudut pasar yang kumuh.
Begitu rendahnya kepercayaan kepada parpol, tentu maksudnya ialah petinggi dan pengurusnya, ada calon memutuskan maju lewat jalur perseorangan (independen).
Sudah resmi maju lewat perseorangan, masih juga ada parpol merengek dan menempel ke pasangan jalur perseorangan yang sebelumnya tidak dipercaya oleh pasangan tersebut. Tak malu!
Ada apa pula mengganggu calon yang sudah jadi, dengan isu dan berita yang mematikan langkah calon? Kenapa harus mundur dari serangan isu dan berita yang mematikan, kalau isu dan berita itu adalah bohong?
Atau, benarkah isu dan berita itu? Lalu, kalau benar, kenapa petinggi parpol menangis ramai-ramai. Lha, kebohongan dan kejahatan politik dilawan dengan menangis! Parpol dan tokohnya kehilangan jati diri. Atau, menangis karena malu tak kuasa ditutup?
Politik itu dinamis, kata politisi. Yang dimaksud dinamis ialah: kesetiaan selama ini dibalas dengan kepahitan (ketegaan). Pemimpin yang baik diganggu kebaikannya. Mata terang rakyat pemilih tentang siapa para calon, dikaburkan dengan macam-macam kata-kata kampanye yang menyesatkan.
Politik dinamis mungkin searti dengan "berapa rupiah harga parpol, berapa ‘mahar politik’ sebagai ‘uang panai’, dan berapa rupiah disiapkan untuk "money politics"? Mungkin soal-soal itu, keliru! Maaf, kalau begitu! Tapi, bolehkah hal itu tidak dipercaya kalau di warkop, di perbincangan tivi, di koran, apalagi di medsos, hal itu sudah menjadi pergunjingan, jika tak mau disebut perbincangan.
Kalau hal-hal di atas meliputi suasana politik pilkada yang sedang kita jalani, salahkah jika ada rasa khawatir bahwa arena pilkada akan merupakan arena pertarungan politik yang tidak sehat, dilakoni oleh politisi yang sangat haus kekuasaan.
Kenapa mereka tampak haus benar kepada kekuasaan? Ataukah, mungkin para politisi dan parpol itu semata didorong dengan sangat kuat oleh suatu dorongan yang mereka tak sanggup menolaknya.
Dorongan apa gerangan di balik tirai politik kita yang tampak sangat jauh dari kebaikan politik yang diajarkan oleh ilmu politik? Mungkinkah ada mazhab-mazhab ekonomi sebagai pemain politik yang sesungguhnya, dan politisi serta parpolnya semata sebagai wayang yang dimainkan di arena pilkada?
Mazhab ekonomi itu berhitung pragmatis bahwa berkembang tidaknya jaringan bisnis akan sangat ditentukan oleh siapa yang akan menang dalam pilkada. Benarkah para saudagar bekerja keras di belakang politisi untuk memenangkannya? Akh, terlalu jauh tulisan ini melantur!