Klakson

Manusia dan Harganya

Editor: Jumadi Mappanganro
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi & Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Sulsel

Oleh: Abdul Karim
Direktur Eksekutif LAPAR Sulsel

Orang-orang selalu memasang harga. Orang-orang senantiasa memburu harga. Harga membuat peradaban kita ternilai secara material.

Harga berarti materi. Dan materi, dekat dengan uang. Jadilah uang di atas segalanya. Bahkan, harga diri kadang melayang dibuatnya.

Harga diri pun seringkali disetarakan dengan uang. Bermandikan uang dianggap harga diri menjulang. Limpahan materi, berarti harga diri tak terperi, tak tertandingi. Di sini, manusia memburu harta untuk harga yakni harga diri.

Lantas di mana harga yang diburu itu bersemayam? Ada yang bilang, ia bersemayam dipundak pangkat dan jabatan. Ada yang berkata, ia berdomisili dikursi kepemimpinan yang diperebutkan dimana-mana.

Ada juga menjawab, ia berputar dalam lingkaran bisnis. Tetapi, saya menjawabnya, bahwa harga yang diburu itu pertama-tama bersemayam dikepala dan hati kita.

Ia bertumbuh dan menempel di otak dan hati. Mana yang benar? Entahlah.

Tak penting mana yang benar. Tetapi di manapun harga itu bersemayam, pemburuan terhadapnya tak pernah terhenti. Segala jalan ditempuh manusia untuk menggapainya.

Mulai jalan pintas hingga jalur tak pantas. Semua ditempuh dengan gegas. Manusia berupaya bersetubuh dengan harga.

Namun, tak semua pemburuan itu sukses. Kadangkala pemburuan itu melahirkan kekecewaan. Jelas kecewa, sebab pemburuan harga telah menumbalkan harga lain yang dimiliki.

Di sini, kekecewaan hadir bergandengan dengan penderitaan. Harga yang diburu, lara yang melanda.

Kadangkala harga materi menghabisi harga diri. Di sini, kewaspadaan mesti dipasang tinggi-tinggi. Sebab, di kiri-kanan kita harga materi menggoda di mana-mana.

Kita sering mendengar: "tak ada yang gratis dimuka bumi ini". Ungkapan ini jelas bernada harga materi. Dan memang terbukti, segala urusan disyaratkan--walau tanpa ketentuan--harga materi.

Pungli, yang baru-baru ini diprogramkan dibasmi barangkali contoh kecil pada fakta besar bagaimana harga materi menjadi panglima yang tak seharusnya ada.

Lihatlah pula, hukum untuk rasa keadilan seringnya menggunakan harga materi.

Kita mestinya memetik hikmah dari pendahulu. Kita tahu, mereka berjuang untuk bangsa. Mereka berjuang melepas bangsa ini dari koloni demi harga diri. Dan harga diri bangsa ini adalah kedaulatan.

Bila tak berdaulat, maka harga diri bangsa ini menjadi abstrak. Atau sekedar teori-teori yang hanya berputar di dalam kelas, ruang kuliah hingga forum diskusi.

Karena itu, harga diri mesti dimiliki. Kita faham, harga diri tak akan pernah mati, tak sama dengan harga materi. Harga diri tak pernah basi atau kadaluarsa, seperti halnya harga materi.

Ia senantiasa hadir-dihadirkan, senantiasa dikenang sepanjang kehidupan dunia masih berdenyut. Sebab harga diri bertalian dengan harkat dan martabat kemanusiaan kita. (*)

Catatan: Tulisan di atas juga dimuat di kolom Klakson halaman Opini Tribun Timur edisi cetak Sabtu, 11 Maret 2017 dengan judul Harga.

Berita Terkini