Opini
80 Tahun Merdeka: Antara Harapan dan Tantangan
Pemerintah harus menunjukkan komitmen kuat terhadap kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi, kelompok, atau partai politik.
Oleh: Yusran, S.Pd., M.Pd.
Wakasek Kesiswaan SMA Islam Athirah 1 Makassar
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Negara kita, Republik Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 2025 memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan yang ke-80. Delapan dekade kemerdekaan bukan hanya momentum untuk mengenang jasa para pahlawan, tetapi juga menjadi saat yang tepat untuk memperkuat fondasi bangsa, khususnya dalam bidang intelektual, akademik, dan moral kebangsaan.
Di era digital yang serba cepat ini, tradisi akademik yang kokoh merupakan landasan penting bagi lahirnya inovasi dan daya saing bangsa. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah kunci agar Indonesia mampu menghadapi tantangan global sekaligus memanfaatkan peluang yang ada demi kesejahteraan bersama.
Semangat kemerdekaan karenanya tidak boleh berhenti pada seremoni belaka, melainkan harus diiringi dengan tekad untuk terus belajar, mengembangkan diri, dan berkontribusi nyata dalam pembangunan bangsa.
Kemerdekaan yang kita nikmati saat ini adalah anugerah besar sekaligus amanah. Tugas generasi penerus adalah mengisi kemerdekaan itu dengan nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945 sebagai pedoman moral dan konstitusional. Kedua pijakan tersebut harus menjadi ruh perjuangan bangsa dalam menghadapi dinamika zaman.
Dalam konteks ini, baik pemerintah maupun masyarakat sipil memiliki peran krusial. Pemerintah harus menunjukkan komitmen kuat terhadap kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi, kelompok, atau partai politik. Kebijakan publik tidak boleh terdistorsi oleh kepentingan sempit, melainkan harus benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat.
Sementara itu, masyarakat sipil dituntut menjadi pengawal kritis sekaligus mitra konstruktif agar jalannya pemerintahan tetap berada di rel yang benar. Indonesia sebagai negara yang majemuk memiliki fondasi keindonesiaan dan kebangsaan yang mempersatukan. Kesadaran akan keberagaman suku, agama, budaya, dan bahasa harus terus dijaga agar persatuan tetap kokoh.
Persaingan politik dalam negara demokrasi memang wajar, namun harus tetap berada dalam koridor sehat dan tidak merusak persatuan bangsa.
Memasuki delapan dekade kemerdekaan, bangsa ini juga dihadapkan pada berbagai fenomena kekinian yang perlu diantisipasi secara bijak. Polarisasi politik yang semakin tajam, terutama di media sosial, menjadi salah satu tantangan serius karena seringkali ruang publik dipenuhi ujaran kebencian, hoaks, dan perpecahan.
Jika tidak dikelola dengan baik, hal ini dapat melemahkan persatuan nasional. Literasi digital perlu diperkuat agar masyarakat mampu memilah informasi dengan bijak dan menggunakan teknologi secara produktif.
Selain itu, Indonesia saat ini sedang menikmati bonus demografi, di mana jumlah penduduk usia produktif sangat besar. Jika dikelola dengan baik melalui pendidikan berkualitas, peningkatan keterampilan, dan penyediaan lapangan kerja, bonus demografi ini dapat menjadi kekuatan besar untuk mendorong pertumbuhan bangsa.
Namun, jika diabaikan, kondisi ini bisa menimbulkan masalah baru berupa pengangguran, kemiskinan, hingga meningkatnya kriminalitas. Arus globalisasi budaya juga menjadi fenomena yang perlu diwaspadai.
Akses terhadap budaya asing semakin mudah melalui teknologi digital, namun tanpa filter yang tepat, hal ini berpotensi mengikis identitas nasional. Karena itu, penguatan karakter, nasionalisme, dan budaya lokal sangat penting agar bangsa Indonesia tetap memiliki jati diri di tengah derasnya arus global.
Di tengah tantangan global tersebut, lembaga pendidikan Islam, baik sekolah maupun perguruan tinggi, memiliki peran strategis dalam memperkuat nilai-nilai tawassuth atau moderasi.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.