Opini
HUT ke-80 RI: Merdeka dari Penjajah, Tapi Terjajah Pajak
Di layar televisi, kemerdekaan tampak sebagai pesta tarian, lomba, dan kembang api.
Oleh: Hardianto Haris, M.Si Akademisi Universitas Pancasakti Makassar
DELAPAN puluh tahun Indonesia merdeka.
Lagu kebangsaan dikumandangkan, bendera merah putih berkibar, pejabat berpidato dengan suara lantang: “Kita telah merdeka!”
Namun di luar panggung megah itu, di jalan-jalan sempit dan desa-desa jauh dari sorotan kamera, rakyat kecil masih berjuang untuk merdeka dari lapar, dari utang, dari ketidakpastian esok hari.
Di layar televisi, kemerdekaan tampak sebagai pesta tarian, lomba, dan kembang api.
Tapi di dapur-dapur sederhana, ibu-ibu menghitung beras yang tersisa, bapak-bapak memikirkan bagaimana besok mengisi panci.
Kemerdekaan, bagi mereka, belum benar-benar menjadi milik bersama.
Ia masih lebih sering menjadi slogan yang indah di baliho dan spanduk, ketimbang kenyataan yang bisa dirasakan di meja makan atau sawah yang mereka garap.
Tapi izinkan saya bertanya: merdeka untuk siapa?
Sementara panggung-panggung perayaan berdiri megah, rakyat di kampung-kampung justru memandangi surat tagihan Pajak Bumi dan Bangunan yang melonjak seperti roket.
Ada yang sampai tiga kali lipat, ada yang memaksa petani menjual sawahnya demi membayar. Apakah ini hadiah kemerdekaan yang kita rayakan di usia 80 tahun?
Pajak yang Mengusir Pemilik Tanah
Kita ini negeri agraris. Tanah adalah identitas, warisan, dan harga diri keluarga.
Tapi kini, pemilik tanah bukan lagi raja. Mereka hanya “penyewa” dari negara, karena setiap tahun harus membayar seolah tanah itu bukan miliknya.
Ironinya, yang paling tersiksa adalah rakyat kecil para pensiunan yang hidup pas-pasan. Mereka menghitung rupiah demi rupiah agar cukup sampai akhir bulan.
Petani dan nelayan yang penghasilannya bergantung pada kemurahan cuaca, kadang berlimpah tapi sering kali terpuruk oleh badai atau kemarau panjang.
Serta warga desa yang bertahan di tanah leluhurnya, meski tekanan dari pembangunan dan ekspansi lahan industri kian mendesak mereka.
Mereka bukan sekadar angka dalam statistik kemiskinan, tetapi manusia yang setiap hari berjuang melawan harga kebutuhan yang terus merangkak naik, layanan publik yang kerap tak memihak, dan kebijakan yang lebih sering menguntungkan segelintir orang.
Dalam sunyi mereka memendam Tanya “untuk siapa negeri ini sesungguhnya dibangun, jika peluh dan sabar mereka tak pernah dihargai?
Dalam kacamata Teori Konflik Karl Marx, inilah wajah halus dari penindasan struktural: kebijakan negara yang tampak legal, tapi mengalihkan kekayaan dari yang lemah ke yang kuat.
Tanah rakyat kecil perlahan berpindah tangan ke korporasi dan spekulan, sementara negara menjadi perantara “perampasan” itu lewat pajak.
Max Weber mengingatkan: kekuasaan tanpa legitimasi akan runtuh. Dan legitimasi itu hilang ketika rakyat merasa diperas tanpa diberi ruang bicara.
Peringatan dari Al-Qur’an
Allah sudah memberi peringatan tegas:
"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil" (QS. Al-Baqarah: 188)
Apakah memaksa rakyat membayar pajak yang melampaui kemampuan mereka, tanpa transparansi pemanfaatannya, bukan bentuk pemakan harta yang batil?
Apalagi jika hasilnya lebih banyak membiayai proyek mercusuar daripada kebutuhan mendesak rakyat.
HUT RI ke-80: Antara Seremonial dan Hakikat Merdeka
Merdeka bukan cuma bebas dari penjajah Belanda atau Jepang.
Merdeka adalah ketika petani bisa menggarap sawahnya tanpa takut tanahnya disita karena pajak.
Merdeka adalah ketika nenek di desa tak perlu menjual cincin warisan demi membayar PBB.
Merdeka adalah ketika negara melindungi rakyatnya, bukan memerasnya.
Kalau di usia 80 ini rakyat masih harus berjuang melawan pajak yang mencekik, kita perlu jujur mengakui: kemerdekaan kita masih setengah jalan. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.