Kampung Payet Majannang Jadi Sentra Industri Payet di Sulawesi Selatan
Desa Majannang, Maros jadi senta industri payet di Sulawesi Selatan yang juga menopang ekonomi warga dan dorong pariwisata berbasis kerajinan.
TRIBUN-TIMUR.COM – Sulawesi Selatan dikenal sebagai provinsi dengan kekayaan budaya, alam, dan kerajinan tradisional yang melimpah.
Di balik keindahan bentang alam dan keberagaman etniknya, tersembunyi potensi besar dari industri kreatif lokal yang menopang kehidupan ribuan keluarga. Salah satu contohnya dapat dijumpai di Desa Majannang, Kecamatan Maros Baru, Kabupaten Maros.
Desa kecil ini menjadi rumah bagi ratusan ibu rumah tangga yang menggantungkan harapan hidupnya pada kerajinan payet, seni menyulam manik-manik pada kain yang menjelma menjadi karya fesyen penuh nilai estetika.
Dari rumah-rumah sederhana, lahir karya-karya eksklusif yang menghiasi baju pesta, busana pengantin, hingga pakaian adat Sulsel yang dikenal megah.
Kabupaten Maros sendiri kini berada di posisi ketiga sebaran pelaku ekonomi kreatif terbanyak di Sulawesi Selatan, setelah Kota Makassar dan Kabupaten Gowa.
Ini menunjukkan bahwa Maros bukan sekadar daerah penyangga ibu kota provinsi, tetapi juga titik penting dalam peta industri kreatif Sulsel.
Kampung Payet Majannang, Ikon Ekonomi Lokal yang Berbasis Tradisi
Di Majannang, lebih dari 80 persen ibu rumah tangga terlibat langsung dalam usaha pemasangan payet. Menariknya, rumah-rumah warga tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai ruang produksi, menjadikannya bagian dari industri rumahan yang produktif.
Proses menyulam payet bukanlah pekerjaan sederhana. Dibutuhkan ketelitian tinggi dan kesabaran dalam merangkai butiran payet satu per satu. Untuk satu potong busana dengan motif sederhana saja, dibutuhkan waktu 3 hingga 4 hari pengerjaan. Motif kompleks bahkan bisa memakan waktu hingga seminggu.
Harga jasa payet yang ditawarkan pun bervariasi, mulai dari Rp150.000 untuk motif ringan, hingga Rp1.000.000 untuk pola yang rumit. Bahkan, satu set baju adat berpayet penuh bisa dihargai hingga Rp6.000.000.
Para pengrajin kini mulai adaptif dengan teknologi. Produk-produk mereka dipasarkan lewat media sosial seperti Instagram dan Facebook bahkan ada yang sudah menerima pesanan dari luar Sulawesi.
Pemerintah desa dan lembaga pemberdayaan juga aktif mendukung promosi melalui pameran UMKM tingkat kabupaten hingga nasional.
Tak hanya itu, edukasi bagi generasi muda juga digalakkan. Anak-anak usia sekolah dasar sudah diajarkan dasar-dasar menyulam, sebagai langkah pelestarian budaya sekaligus regenerasi pelaku industri kreatif masa depan.
Tangan-tangan terampil para pemayet di sini bukan sekedar menyulam benang dan payet tetapi pewarisan nilai-nilai tradisi. Harapannya, kerajinan payet dari Maros bisa menjadi ikon Sulawesi Selatan.
Potensi Wisata Industri yang Layak Dikembangkan
Dua Tahun Tanpa Jembatan, Warga dan Pelajar Maros Bertaruh Nyawa Menyeberang Sungai Pakai Gondola |
![]() |
---|
Manusia Silver Asal Makassar Beraksi di Maros, Terpantau Mangkal di Simpang BRI dan Grandmall |
![]() |
---|
Fathan Putra Chaidir Syam Juara Dua Panahan Berkuda di Rusia |
![]() |
---|
PMI Maros Gelar Lokasi X se-Sulsel, 1.500 Peserta Siap Ramaikan Lapangan Andi Baso Camba |
![]() |
---|
Harga Gabah Ikut Naik, Petani Maros Nikmati Berkah Lonjakan Beras |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.