Opini
Negaranya Kaya Tapi Manusianya Miskin
Namun, ironisnya, kemakmuran itu tak kunjung merata hingga ke rakyatnya yang paling dasar.
Oleh: Aswar Hasan
Dosen Fisipol Unhas
TRIBUN-TIMUR.COM - Ada yang menarik dan menggelitik dari dialog singkat Panji Koming, edisi Kompas, 20 juli 2025.
Dialog itu menyatakan bahwa negara kita kaya dengan sumber daya alamnya, tapi manusianya tetap miskin.
Penguasa dan rakyatnya semuanya miskin. Yang satu miskin adab dan akal, yang satu lagi dimiskinkan penguasanya.”
Kalimat tersebut, seolah menyorot paradoks tajam yang menghinggapi negeri ini.
Di satu sisi, alam Indonesia melimpah: dari timah di Bangka, batu bara di Kalimantan, minyak dan gas serta emas di Papua dan Sumatra, juga rempah-rempah yang pernah menjadi alasan penjajahan Eropa, hingga kekayaan pesisir dan laut yang luas—semua seolah menegaskan bahwa bangsa ini sungguh diciptakan dengan tanah subur dan potensi besar.
Namun, ironisnya, kemakmuran itu tak kunjung merata hingga ke rakyatnya yang paling dasar.
Ungkapan bahwa “manusianya tetap miskin” tak hanya bicara soal minimnya pendapatan atau konsumsi; ia juga menyiratkan kematian intelektual dan moral yang jauh lebih lama dampaknya dibanding sekadar kemiskinan material.
Pendidikan berkualitas tak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat karena mahalnya biaya sekolah, buku, seragam, dan kuota internet.
Pelayanan kesehatan terbatas di daerah terpencil—apalagi di wilayah Papua, Maluku, atau pegunungan seperti Aceh dan Sulawesi Utara.
Mahfud Md pernah mengungkap hasil analisis KPK (Komisi Pemberantas Korupsi) bahwa jika pengelolaan sumber daya alam dilakukan tanpa korupsi maka masyarakat Indonesia akan mendapat keuntungan Rp 20 juta sebulan (Tempo.co,6/12/2023).
Problem Pengangguran
“Negara kaya, rakyat miskin” bukan sekadar klise, tapi realita yang terasa setiap hari.
Data menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia yang berstatus pengangguran terbuka alias benar-benar menganggur, termasuk yang tergolong pengangguran terpaksa, makin membesar dalam lima tahun terakhir.
Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2025, total jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,28 juta orang.
Sedangkan jumlah setengah pengangguran alias pengangguran terpaksa yang saat ini bekerja kurang dari 35 jam per minggu dan masih mencari pekerjaan tambahan, jumlahnya mencapai 11,67 juta orang.
Alhasil, total sebanyak 18,95 juta orang di Indonesia saat ini tak punya pekerjaan dan masih mencari pekerjaan lebih layak.
Gelombang PHK juga umeningkat di sektor padat karya dan diperkirakan akan terus berlanjut. Situasi ketenagakerjaan dalam negeri yang memburuk itu diperkirakan akan terus berlanjut sampai ada langkah konkret dari Pemerintah RI (https://www.bloombergtechnoz.com/detail-news).
Lebih pedih lagi, nasib rakyat acapkali terjebak dalam siklus kemiskinan yang panjang: generasi tua yang tak pernah melek pendidikan formal, generasi muda yang bekerja di sektor informal—petani subsisten, nelayan tradisional, buruh konstruksi harian—serta warga pinggiran kota yang hidup dari upah minimum.
Infrastruktur yang belum menyentuh seluruh pelosok memperburuk keadaan. Selain itu, modal untuk memulai usaha kecil sering sulit diakses karena syarat kredit bank yang tinggi, biaya administrasi besar, dan bunga yang memberatkan.
Ada dua pihak yang disorot ketimpangannya dalam dialog Panji Koming tersebut, yaitu; penguasa dan rakyat.
“Yang satu miskin adab dan akal,”—ini merujuk pada pemimpin yang gagal menghadirkan tata kelola yang baik. Korupsi, dan praktek nepotisme, clientelisme, serta keputusan kebijakan yang sering menguntungkan segelintir kelompok elit ekonomi dan politik—semua itu melahirkan disequilibrium distribusi kekayaan.
Belenggu Korupsi
Ketika kepala daerah menggunakan dana desa untuk proyek fiktif, ketika pejabat pusat menikmati fasilitas mewah namun publik tidak merasakan dampak nyata dari pajak, ketika proyek strategis hanya menguntungkan kontraktor besar—adab dan akal yang seharusnya jadi landasan moral kenegaraan ‘miskin’.
Sementara itu, “yang satu lagi dimiskinkan penguasanya”—merujuk pada rakyat awam yang secara sistematis dikurangi haknya.
Potensi hasil bumi diambil, dikelola, dan dijual, sementara dana keuntungan dipindahkan ke kota besar atau bahkan luar negeri. Ketika perusahaan tambang asing atau domestik menambang, rakyat setempat hanya mendapat janji pekerjaan alih-alih kemakmuran.
Ketika hutan ditebang untuk sawit, rakyat desa kehilangan mata pencaharian tanpa modal manusia untuk bertahan. Relokasi demi pembangunan sering berujung pada masyarakat adat yang dipindahkan tanpa kompensasi layak.
Dialog Panji Koming menyiratkan kritik tajam: kekayaan alam itu tak akan bermakna bila tak dibarengi dengan tata kelola manusia yang baik dan pemerataan hasil bagi rakyat.
Justru potensi itu bisa menjadi bumerang—sumber konflik, ketimpangan, dan pemberantakan kondisi sosial. Sumber daya alam bisa jadi curse kalau dikelola tanpa akal sehat dan adab, dan tanpa sadar, penguasa menjadi alat yang memiskinkan rakyatnya sendiri.
Pertanyaannya, adalah bagaimana untuk keluar dari kekacauan tersebut?
Solusinya tentu tak sederhana karena membutuhkan i’tikad nyata reformasi birokrasi, pendidikan karakter dan akhlak para pemimpinnya, desentralisasi yang sungguh-sungguh menguatkan daerah, partisipasi publik dalam pengawasan anggaran, transparansi data dana publik dan tambang, hingga diversifikasi ekonomi yang menjadikan rakyat sebagai subjek pembangunan—bukan objek yang dimanfaatkan.
Negara memang kaya. Namun, kemiskinan manusianya—akibat miskinnya adab dan akal para pemimpinnya, mengakibatkan kemiskinan struktural yang dibentuk oleh mereka terhadap rakyatnya—membuat negeri ini tersandung.
Dialog karikatur Panji Koming mengajak kita untuk tidak menyia-nyiakan sumber alam, perlu mengasah kematangan moral dan intelektual sebagai prasyarat agar tanah air benar-benar “makmur” dalam arti, memakmurkan rakyatnya. Wallahu a’lam bissawab.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.