Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

 Amuk Tambang Sulteng

 Amuk Tambang Sulteng, Legislator PKB Bongkar Pembiaran dan Kerusakan Sistematis di Morowali

Legislator PKB Muhammad Safri ungkap pembiaran sistematis aktivitas tambang di Morowali. Negara dinilai abai, rakyat menanggung dampaknya.

Penulis: Erlan Saputra | Editor: Sukmawati Ibrahim
Tribun-Timur.com/youtube
TAMBANG MOROWALI - Anggota DPRD Sulteng Fraksi PKB, Muhammad Safri, mengungkap kerusakan lingkungan akibat tambang saat mengunjungi Redaksi Tribun-Timur, Jl Opu Daeng Risadju No.430, Sambung Jawa, Kecamatan Mamajang, Kota Makassar, Minggu (6/7/2025). 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR – Dari luar, Sulawesi Tengah (Sulteng) tampak seperti “surga” baru industri nikel. 

Namun di balik geliat investasi dan pembangunan, tersembunyi kisah pilu, kerusakan lingkungan, penggusuran rakyat, dan pembiaran sistematis oleh negara.

Hal ini diangkat dalam podcast eksklusif Tribun Timur tayang Minggu (6/7/2025), dipandu Hasim Arfah. 

Tamu utama, Muhammad Safri, anggota DPRD Sulteng dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), membeberkan fakta mengejutkan soal dampak tambang di Morowali.

Safri pernah menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Morowali Utara selama satu dekade. 

Pengalamannya memberinya pandangan langsung atas dampak eksploitasi tambang terhadap lingkungan dan masyarakat.

"Sebelum saya jadi anggota DPRD provinsi, 10 tahun saya sebagai pimpinan DPRD Morowali Utara. Saya itu 28 kali mengeluarkan rekomendasi," tegasnya.

Namun, ia menyayangkan semua rekomendasi tersebut diabaikan. 

SOROTAN LEGISLATOR SULTENG-Legislator DPRD Sulawesi Tengah, Muhammad Safri saat menjadi narasumber dalam program #SaveSulawesi
SOROTAN LEGISLATOR SULTENG-Legislator DPRD Sulawesi Tengah, Muhammad Safri saat menjadi narasumber dalam program #SaveSulawesi "Amuk Tambang: Siapa Perusak Sulawesi Tengah?" yang ditayangkan melalui kanal Youtube Tribun Timur, Minggu (6/7/2025). Ia menyorot soal Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik PT HIR.  (YouTube Tribun Timur)

Negara dianggap hanya hadir saat menguntungkan segelintir pihak, tapi diam saat rakyat kehilangan air bersih, lahan, dan mata pencaharian.

Menurutnya, kerusakan lingkungan bukan hanya akibat kelalaian, melainkan hasil dari sistem dibiarkan berlangsung.

"Kalau memang negara hadir di tengah-tengah rakyat, dilapor atau tidak dilapor, seharusnya ada penegakan hukum di situ," ujarnya.

Safri menilai negara gagal menindak perusahaan tambang meski pelanggaran sudah terang-terangan. 

Ia juga menyoroti lemahnya pengawasan serta minimnya kontribusi tambang terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Safri menjelaskan bahwa keterbatasan kewenangan membuat DPRD dan pemerintah daerah tidak bisa berbuat banyak. 

Ia bahkan mengajukan uji materi UU Nomor 23 Tahun 2014 agar kewenangan daerah diperkuat.

"Kalau hanya DPRD yang mengawasi dan memberi rekomendasi, tidak akan ada tindak lanjut. Kami tidak bisa eksekusi karena kewenangan dibatasi," katanya.

Inspektur tambang pun, menurutnya, hanya bisa memberi laporan ke pusat. 

Sementara dampak lingkungan terus meluas.

Baca juga: DPRD Sulsel Warning Tambang di Tikala Toraja Utara, Jarak Cuma 600 Meter dari Situs Budaya

Sungai Ditimbun, Desa Banjir

Safri menyinggung kunjungan Komisi III DPRD Sulteng ke kawasan tambang PT SEI. 

Mereka menemukan sungai ditimbun, yang kemudian menyebabkan banjir berulang di desa sekitar.

"Kami lihat langsung, ternyata memang ada penimbunan sungai,"

Ia mendesak perusahaan menghentikan aktivitas tersebut karena merugikan masyarakat. 

Namun tindakan dari penegak hukum masih minim.

Ia mengungkap, 3.700 hektare lahan pertanian terancam gagal panen akibat tambang

Bahkan, beberapa sumber mata air rusak total.

"Kalau Gubernur tidak ambil tindakan cepat, petani kehilangan sumber air, gagal panen," katanya.

Nelayan pun turut merasakan dampaknya. 

Ia yang berasal dari keluarga nelayan, mengaku kondisi saat ini jauh lebih buruk.

"Dulu jam 4 subuh melaut, jam 9 sudah dapat hasil. Sekarang jam 4 sore belum tentu dapat ikan, bahkan harus melaut lebih jauh," keluhnya.

Selain kehilangan mata pencaharian, masyarakat mulai mengalami gangguan pernapasan akibat pembakaran batubara di kawasan industri.

Negara Dinilai Abai

"Kalau rakyat yang salah, cepat diproses. Tapi kalau perusahaan tambang yang merusak, dibiarkan. Negara tidak hadir di situ," ujar Safri.

Ia menyebut sebagian besar tambang dimiliki orang luar daerah, bahkan luar negeri. 

Dari 100 persen lokasi tambang, sekitar 85 persen bukan milik warga lokal.

Safri mempertanyakan keadilan DBH tambang

Menurutnya, Sulteng hanya menerima Rp220 miliar dari total pajak Rp571 triliun. 

Artinya, kurang dari satu persen.

"Makanya saya bilang, ini tidak adil. Kita tidak tahu berapa juta metrik ton nikel yang dibawa keluar dari daerah ini," tegasnya.

Ia menuntut kewenangan pengelolaan diberikan ke daerah agar bisa mengawasi dan menikmati hasil sumber daya alam secara lebih adil.

Ia menyinggung kasus PT Halmahera yang mencemari air bersih, namun tidak ditindak.

"Kalau tidak ada kekuatan besar di belakang mereka, mana mungkin mereka berani langgar aturan seperti itu?" ucapnya.

Safri menuding ada aktor kuat yang melindungi perusahaan tambang

Hal ini menjadi alasan mengapa pelanggaran terus dibiarkan.

Safri menyambut baik instruksi Presiden Prabowo yang meminta evaluasi proyek strategis nasional (PSN). 

Ia menilai sebagian besar PSN tidak membawa manfaat signifikan bagi masyarakat.

"Yang ada justru masyarakat kehilangan mata pencaharian dan lingkungan rusak," kata Safri.

Ia juga mendorong moratorium izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH), karena terlalu longgarnya izin menjadi salah satu penyebab bencana seperti banjir dan longsor. (*)

 

 

 

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved