Nasib Petepete
Kisah Dg Boko 40 Tahun Jadi Sopir Petepete di Makassar: Dulu Rp150 / Hari, Sekarang Rp50 Ribu Susah
Dg Boko menunggu di sudut perempatan Jl Butung-Jl Sulawesi, tepat di depan pintu keluar Pasar Butung.
Penulis: Siti Aminah | Editor: Sudirman
Semakin hari, masyarakat mulai beralih, kebiasaan menggunakan angkot juga semakin ditinggalkan.
Tahun 2018 hingga Covid-19 pada 2020 menjadi puncak kemalangan nasib supir petepete.
Tak ada aktivitas masyarakat dengan segala pembatasan yang dilakukan pemerintah.
Mobil berwarna birunya hanya terparkir kumuh di halaman rumah atau di lorong-lorong kecil.
Kehidupan masyarakat yang berangsur pulih pasca Covid-19 tidak berlaku bagi sopir petepete.
Penumpang tetap sepi, masing untung jika ia mendapat penumpang diatas 10 orang dalam satu hari.
Kondisi ini tentu berdampak besar bagi penghasilan Dg Boko dan kawan-kawannya.
Dulu mereka masih bisa mendapat Rp150 ribu per hari, sekarang masih untung jika dapat Rp50 ribu.
Sementara biaya operasional setiap harinya untuk bahan bakar dikisaran Rp30 ribu atau 3 liter bensin.
"Penurunannya tiga kali lipat, dulu bisa sampai Rp150 ribu, sekarang Rp50 ribu juga susah," ungkapnya.
Sulitnya ekonomi Dg Boko membuatnya tak mampu membiayai pendidikan anak-anaknya.
Dg Boko memiliki tiga anak, rata-rata sudah bekerja, ada yang menjadi sopir, ada pula yang jadi tukang parkir.
"Anak saya yang bungsu putus sekolah, sekarang dia jadi tukang parkir, karena pendapatan seperti ini susah, untuk makan saja paling utama," ujarnya.
Delapan tahun terakhir, Dg Boko mengaku tak pernah lagi mendapat bantuan sosial pemerintahan, baik dalam bentuk bantuan tunai maupun beras. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.