Lipsus Petepete di Makassar
Petepete Kian Sepi dan Terpinggirkan
Petepete makin sepi penumpang di Makassar. Transportasi online jadi pilihan utama, petepete perlahan ditinggalkan. Sopir bertahan di tengah tekanan.
Perubahan itu bukan tanpa sebab. Sejak kemunculan transportasi online pada 2014, kebiasaan masyarakat beralih.
Akses mudah lewat ponsel, promo-promo yang menggoda, dan kenyamanan layanan, menjadi pilihan baru.
Petepete yang dulu jadi urat nadi transportasi kota, perlahan kehilangan denyutnya.
Pukulan paling berat datang saat pandemi Covid-19 melanda.
Pembatasan sosial membuat aktivitas masyarakat terhenti. Petepete tak lagi bisa beroperasi.
Mobil-mobil biru itu hanya terparkir, berdebu di lorong-lorong dan halaman rumah.
Kini, meski kehidupan mulai normal, nasib para sopir petepete tak kunjung membaik. “Penurunan penghasilan sampai tiga kali lipat.
Dulu bisa sampai Rp150 ribu sehari, sekarang Rp50 ribu juga susah,” ungkap Dg Boko.
Dari pendapatan itu, ia masih harus menyisihkan sekitar Rp30 ribu untuk membeli tiga liter bensin.
Akibat himpitan ekonomi itu, impiannya untuk menyekolahkan ketiga anaknya pun kandas.
Anak bungsunya harus putus sekolah. Kini bekerja sebagai tukang parkir. “Pendapatan seperti ini, untuk makan saja sudah syukur,” katanya lirih.
Ironisnya, selama delapan tahun terakhir, Dg Boko mengaku tak pernah lagi mendapat bantuan dari pemerintah. Tidak ada bantuan tunai, tidak pula beras subsidi.
Di tengah semua kesulitan itu, Dg Boko masih bertahan. Petepete tuanya masih menyala, meski kadang lebih sering menunggu daripada berjalan.
Ia tidak sekadar mengemudi. Ia sedang menjaga sisa-sisa harapan dari sebuah masa lalu yang pernah penuh harap.
Terpisah, Kepala Bidang Angkutan Dinas Perhubungan Kota Makassar, Jusman mengatakan, saat pete-pete masih menjadi transportasi utama pilihan masyarakat, jumlahnya mencapai 4 ribu lebih.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.