Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Ironi Pancasila

Di tengah warga, gotong royong hadir dalam semangat silih asih (saling mencintai), silih asah (saling mewaraskan), silih asuh (saling membimbing). 

Editor: Sudirman
Ist
OPINI - Aswar Hasan, Dosen Fisipol Unhas 

Oleh: Aswar Hasan 

Dosen Fisipol Unhas
 
TRIBUN-TIMUR.COM - Pancasila adalah sebuah ideologi. Hal ini tidak saja karena ia diwujudkan di zaman moderen, tetapi juga karena ia ditampilkan oleh seorang atau sekolompok orang yang berwawasan moderen, yaitu para bapak pendiri Republik Indonesia.

Dan dimaksudkan untuk memberi landasan failasufis bersama (common philosophical ground) sebuah masyarakat plural yang moderen, yaitu masyarakat Indonesia.

Sebagai produk pikiran moderen, Pancasila adalah ideologi yang dinamis, tidak statis, Watak dinamis Pancasila itu membuatnya sebagai ideologi terbuka (ensiklopedia Nurcholish Madjid, hal.2298, tahun 2006).

Namun ironisnya, pusaka nilai yang luhur itu lebih tumbuh kuat dan sehat di jantung kehidupan komunitas, tetapi belum cukup meresap ke ranah politik-kenegaraan—dengan segala implikasi negatifnya bagi persatuan dan keadilan.

Di tengah warga, gotong royong hadir dalam semangat silih asih (saling mencintai), silih asah (saling mewaraskan), silih asuh (saling membimbing). 

Tatkala nilai itu memasuki ranah politik, wujudnya perlahan berubah. Apa yang di kampung-kampung tumbuh sebagai kemurahan hati, di gedung-gedung parlemen kerap menjelma menjadi kompromi penuh kalkulasi.

Demokrasi pun kehilangan daya wakilnya—terperangkap dalam mekanisme elektoral yang menjauh dari semangat gotong royong yang positif.

Keputusan politik kerap lahir tergesa, dibayangi semangat mayoritarianisme yang lebih menonjolkan unjuk kekuatan ketimbang merawat kebijaksanaan kolektif.

Musyawarah-mufakat sebagai nadi demokrasi gotong royong perlahan ditinggalkan, digantikan oleh voting yang cepat, tetapi dangkal.

Suara minoritas kurang dihargai, pandangan yang berbeda dianggap sebagai gangguan, alih-alih penyeimbang.

Aspirasi akar rumput tersisih oleh pemaksaan elite, yang lebih sibuk menghitung kalkulasi kuasa daripada membangun kesepahaman.

Demokrasi yang semestinya tumbuh dari percakapan, perjumpaan, dan pertukaran gagasan justru menyusut menjadi perlombaan angka nirsubstansi.

Partai politik, misalnya, tak lagi menjadi wahana perjuangan aspirasi dan aksi kolektif. Ia telah menjelma menjadi semacam perusahaan privat yang dikendalikan oleh segelintir orang kuat.

Sistem perwakilan yang semestinya menjadi jembatan bagi keragaman kebangsaan kini cenderung tereduksi menjadi kontestasi perwakilan individual, tanpa menjamin kehadiran wakil golongan marjinal dan unsur strategis bangsa, maupun representasi sejati dari basis-basis komunitas kedaerahan.

Demokrasi pun kehilangan daya wakilnya terperangkap dalam mekanisme elektoral yang menjauh dari semangat gotong royong yang positif.

Dalam konteks inilah kita mesti jujur mengakui bahwa Pancasila yang diagungkan sebagai dasar dan ideologi negara, belum sungguh-sungguh menjiwai praktik demokrasi dan tata kelola negara.

Ia megah di mimbar, tetapi kerap absen dalam keputusan strategis. Dipuja sebagai simbol, tetapi menguap dalam kelembagaan dan kebijakan.

Alih-alih menjadi penuntun arah, Pancasila terkurung dalam retorika tanpa daya gerak. Padahal, yang kita butuhkan bukan sekadar slogan, melainkan roh yang menghidupkan hukum, lembaga, sistem perwakilan, dan keputusan (Yudi Latif, Kompas, 31/5/2025).

Padahal,  Pancasila di alam kemerdekaan RI menurut perumusnya Ir. Soekarno harus mewujud dalam demokrasi politik, ekonomi atau sosio demokrasi.

Pancasila hanya Simbol

Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia seharusnya menjadi pedoman dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun, dalam praktiknya, Pancasila kerap kali hanya dijadikan simbol yang dibangga-banggakan dalam pidato seremonial, upacara kenegaraan, atau hiasan dinding instansi, tanpa benar-benar diinternalisasi dan diterapkan dalam kebijakan serta perilaku pejabat maupun masyarakat.

Ironi ini tampak jelas ketika nilai-nilai Pancasila, seperti keadilan sosial dan kemanusiaan yang adil dan beradab, justru kerap dilanggar oleh para pemegang kekuasaan.

Ketimpangan sosial, korupsi, pelanggaran HAM, hingga maraknya ujaran kebencian, menunjukkan jauhnya implementasi Pancasila dari realitas kehidupan sehari-hari.

Seperti yang dikatakan oleh cendekiawan dan budayawan, Yudi Latif bahwa Pancasila telah menjadi "mantra kosong" yang kehilangan daya transformatif karena direduksi menjadi alat kekuasaan oleh pemerintah.

Tokoh pendiri bangsa seperti Soekarno pun telah mengingatkan bahwa Pancasila bukan sekadar dokumen mati, melainkan “philosophische grondslag” yang hidup dan harus dibumikan.

Sementara itu, Franz Magnis-Suseno menyatakan bahwa Pancasila hanya akan bermakna bila diwujudkan dalam tindakan nyata, bukan hanya dihafal.

Para ahli politik dan filsafat publik seperti Dwight Waldo mengkritik simbolisme politik yang menjauhkan nilai dari praksis. Dalam konteks Indonesia, ini berarti Pancasila sering kali dijadikan perisai retoris untuk menutupi ketidakadilan struktural.

Dengan demikian, Pancasila menghadapi ironi besar: diagungkan secara formal, tetapi diabaikan dalam tindakan.

Untuk menghapus ironi ini, diperlukan komitmen moral dan politik yang kuat untuk menjadikan Pancasila sebagai prinsip kerja nyata, bukan sekadar lambang kosong dalam bingkai yang indah.

Ironi Pancasila sebagai simbol semata mencerminkan ketidaksesuaian antara nilai luhur yang dikandungnya dengan realitas kehidupan berbangsa.

Meski diagungkan dalam wacana dan seremoni, Pancasila sering kali diabaikan dalam praktik, khususnya dalam kebijakan publik dan perilaku elite. 

Ketimpangan, ketidakadilan, dan korupsi menjadi bukti lemahnya implementasi nilai-nilainya. Kesimpulannya, tanpa komitmen nyata untuk membumikan Pancasila dalam tindakan, ia akan terus menjadi simbol kosong.

Diperlukan upaya kolektif dan integritas moral agar Pancasila benar-benar menjadi pedoman hidup bangsa, bukan sekadar hiasan retoris. Wallahu a’ lam bissawabe.(*)

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved