Headline Tribun Timur
SD-SMP Swasta Gratis
Permohonan tertuang dalam putusan Nomor 3/PUU-XXII/2024, menyatakan Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas bertentangan dengan UUD 1945.
TRIBUN-TIMUR.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan uji materiil atas Undang-Undang Nomor 20/2003, tentang sistem pendidikan nasional.
MK memerintahkan agar pendidikan dasar di swasta tidak memungut biaya.
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pembacaan putusan, Selasa (27/5/2025).
Permohonan tertuang dalam putusan Nomor 3/PUU-XXII/2024, menyatakan Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas bertentangan dengan UUD 1945.
Permohonan uji materi diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) atau (Network Education Watch Indonesia/New Indonesia).
Bersama dengan tiga pemohon perorangan yaitu Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Ajiningrum.
Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas sepanjang frasa ‘wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya’, inkonstitusional secara bersyarat dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Para pemohon meminta frasa tersebut diganti menjadi ‘wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah negeri maupun sekolah swasta tanpa memungut biaya”.
Majelis hakim konstitusi kemudian menyatakan pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas itu bertentangan dengan konstitusi selama tidak dimaknai, ‘Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat’.
Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Guntur Hamzah menegaskan ihwal negara memiliki kewajiban konstitusional untuk membiayai pendidikan dasar.
Ia mengingatkan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 mewajibkan setiap warga negara mengikuti pendidikan dasar dan menugaskan negara untuk membiayainya.
“Tanpa ada pemenuhan kewajiban pemerintah dalam membiayai pendidikan dasar, maka berpotensi menghambat upaya warga negara untuk melaksanakan kewajiban konstitusionalnya,” ujar Guntur.
Ia menyebut selama ini pembiayaan wajib belajar hanya difokuskan pada sekolah negeri.
Padahal, secara faktual, banyak anak mengikuti pendidikan dasar di sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat, seperti sekolah swasta atau madrasah swasta.
“Negara tidak boleh lepas tangan atau mengalihkan tanggung jawab pembiayaan kepada penyelenggara pendidikan swasta,” Guntur menambahkan.
Mahkamah menekankan meski Pasal 34 ayat (3) UU Sisdiknas mencantumkan peran masyarakat dalam penyelenggaraan wajib belajar, tanggung jawab utama tetap berada di tangan negara.
“Negara tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya, bahkan dalam konteks pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh swasta,” katanya.
Sementara hakim Enny Nurbaningsih menyampaikan pemohon mendalilkan frasa ‘wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya’ di Pasal 34 ayat 2 UU 20/2003 menimbulkan multitafsir dan perlakuan diskriminatif.
“Terhadap pemenuhan hak dan kewajiban berkenaan dengan pendidikan dasar, sehingga melanggar hak warga negara untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya,” kata Enny.
Dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas, secara eksplisit menuturkan frasa wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya hanya berlaku bagi sekolah negeri.
“Hal tersebut menimbulkan kesenjangan akses pendidikan dasar bagi peserta didik yang terpaksa bersekolah di sekolah atau madrasah swasta akibat keterbatasan daya tampung sekolah negeri,” Enny menambahkan.
Kepala Sekolah Dasar Alam Insan Kamil Gowa, Nurlela menyatakan putusan MK sebenarnya baik, karena swasta bisa dengan aman menyelenggarakan pendidikan tanpa memikirkankan tagihan ke orangtua murid.
Namun, kata Nurlela tak kalah penting menjadi bahan evaluasi adalah operasional ditanggung oleh orangtua murid sekira 90-95 persen (tergantung manajemen keuangan masing) dan sisanya dari dana bantuan operasional sekolah (BOS).
Dimana pembiayaan itu diutamakan untuk gaji pendidik dan tenaga kependidikan, ATK, media, dan kegiatan kesiswaan lainnya.
“Kalau negara hadir membiayai semua kegiatan operasional sekolah terutama untuk kesejahteraan pendidikan dan tenaga kependidikan, kami sangat berterima kasih,” jelasnya, Selasa (27/5/2025).
Terpisah, Kornas Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji, mengatakan MK telah mengukir sejarah penting bagi masa depan pendidikan di Indonesia.
“Hari ini adalah hari bersejarah bagi pendidikan Indonesia! MK telah menunjukkan keberanian dan kebijaksanaan dalam menafsirkan konstitusi untuk keadilan pendidikan,” ujarnya, Selasa (27/5/2025).
Menurut Ubaid, putusan MK ini adalah kemenangan monumental bagi hak asasi manusia atas pendidikan.
Selain itu, menurutnya, putusan ini penegasan bahwa negara wajib hadir memastikan pendidikan dasar yang berkualitas, inklusif, dan bebas biaya bagi seluruh anak bangsa.
“Putusan ini membuka jalan bagi berakhirnya diskriminasi pembiayaan pendidikan yang selama ini membebani jutaan keluarga,” katanya.
“Ini adalah pengakuan bahwa anggaran 20 persen pendidikan dari APBN dan APBD harus benar-benar dialokasikan secara adil untuk pendidikan dasar tanpa dipungut biaya di semua jenis sekolah, baik negeri maupun swasta,” katanya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.