Buaya Hingga Biawak Bermunculan di Pemukiman dan Perkantoran, BBKSDA Sulsel Beberkan Penyebabnya
Bermunculannya reptil ini membuat warga terganggu, khawatir diserang dan menjadi korban satwa liar tersebut.
Penulis: Kaswadi Anwar | Editor: Alfian
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR – Konflik antara satwa liar jenis reptil dan manusia bermunculan di kabupaten/kota di Sulawesi Selatan (Sulsel).
Reptil seperti buaya, ular dan biawak memasuki pemukiman warga, perkantoran, empang hingga persawahan.
Beberapa waktu lalu, warga Makassar dihebohkan dengan buaya berukuran lima meter muncul di pemukiman Jl Tamangapa Raya, Kecamatan Manggala, saat banjir.
Terbaru, buaya menghebohkan warga Pangkep.
Pasalnya, hewan karnivora itu muncul di area persawahan di Desa Manukku, Kecamatan Labakkang.
Begitu pun ular berukuran empat hingga enam meter sering menampakkan diri di pemukiman warga.
Terakhir, biawak berukuran satu meter masuk ke Kantor Bupati Maros membuat geger.
Bermunculannya reptil ini membuat warga terganggu.
Khawatir diserang dan menjadi korban satwa liar tersebut.
Koordinator Polisi Kehutanan (Polhut) Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sulsel, Muhammad Rasul mengungkapkan penyebab konflik satwa liar dan manusia di beberapa daerah, khususnya di Makassar.
Ia mengatakan, buaya yang bermunculan di Makassar akibat banjir. Buaya tersebut terbawa arus hingga ke pemukiman warga.
Habitat buaya di Makassar berada di Sungai Tallo, Sungai Pampang hingga ke muara.
Baca juga: Biawak 1 Meter Masuk Kantor Bupati Maros, Chaidir Syam Minta Tolong

Munculnya buaya lima meter di Tamangapa itu berasal dari danau yang berada tak jauh dari tempat pembuangan akhir (TPA) Antang. Danau tersebut memiliki kanal terhubung dengan Sungai Tallo.
“Ini sudah ada side dari habitat buaya, sudah terdaftar seperti Sungai Tallo, Sungai Pampang, memutar semua alurnya dari atas ke muara,” katanya saat dihubungi Tribun-Timur.com, Jumat (9/5/2025).
Ia melanjutkan, buaya masuk pemukiman biasa karena makanannya di muara terganggu.
Makanya, buaya mencari makanan sepanjang alur sungai.
Hal inilah yang terjadi di Kabupaten Pangkep. Buaya berada di sawah karena berdekatan dengan empang dan muara sungai.
“Buaya jarang masuk ke pemukiman kalau pakannya tersedia di muara, tetapi pakannya terganggu makanya menelusuri sungai untuk cari pakan,” tuturnya.
Bantaran Sungai Tidak Dijadikan Pemukiman
Muhammad Rasul mengimbau agar bantaran sungai tak dijadikan pemukiman. Sebab, tempat tersebut menjadi habitat buaya.
Namun, karena perkembangan dan terbatasnya lahan pemukiman, bantaran sungai pun tak luput dari pembangunan.
“Bantaran sungai sudah dibanguni rumah, sebenarnya itu tidak boleh, karena habitatnya buaya muara,” imbaunya.
Hal ini pun gencar disosialisasikan kepada seluruh warga seluruh kabupaten/kota di Sulsel.
Bahkan, ungkap Rasul, pihaknya turun langsung ketika ada menjadi korban buaya di Palopo.
Pertemuan dilakukan dengan Pemerintah Kota Palopo, kecamatan hingga lurah.
Ia menyampaikan, ditempati warga itu merupakan habitat buaya. Olehnya itu, harus hidup berdampingan dan tidak saling mengganggu.
Sama seperti dilakukan warga Kabupaten Mamuju Tengah, Sulawesi Barat yang hidup berdampingan dengan buaya.
“Kalau makan silakan makan juga di situ. Tidak mengganggu buaya, karena satwa liar kapan diganggu akan menyerang,” jelasnya.
Olehnya itu, Ketua Wildlife Rescue Unit (WRU) BBKSDA Sulsel ini gencar sosialisasi kepada masyarakat.
Masyarakat diberikan pemahaman terkait habitat dari buaya. Mengingat buaya masuk satwa liar yang dilindungi.
“Kami beri pengertian ke masyarakat terkait habitat buaya dan buaya tak bisa ditangkap karena statusnya dilindungi,” ungkapnya.
Evakuasi Buaya
Muhammad Rasul mengutarakan, buaya yang beredar di pemukiman warga dievakuasi lalu dipindahkan ke zona aman. Lokasinya, di Towuti, Kabupaten Luwu Timur.
Namun, menurutnya itu bukan menjadi solusi karena hanya memindahkan masalah.
Sebab, buaya memiliki navigasi luar biasa dibandingkan satwa lain.
Buaya mampu kembali ke tempat asalnya.
“Jadi memindahkan buaya ke Towuti bukan solusi, hanya memindahkan masalah. Makanya solusi dengan sosialisasi bagaimana bijak berdampingan dengan satwa liar,” bebernya.
Elang Tak Ada, Ular Tambah Banyak
Di Makassar bukan hanya buaya yang masuk ke pemukiman warga, tapi juga ular. Kebanyakan ular jenis piton.
Muhammad Rasul menerangkan, ular piton tumbuh dan besar di Makassar dengan hidup di got. Mereka makan tikus yang gemuk-gemuk.
Makanya sering ditemui ular piton dievakuasi panjangnya empat sampai enam meter.
Hewan melata itu masuk ke rumah warga biasanya pasca banjir. Ular tak bisa terus terendam. Kalau musim kemarau turun lagi ke selokan.
“Biasanya pasca banjir ular akan keluar dari selokan karena tak mau terendam,” ungkapnya.
Ia mengaku, pertumbuhan ular piton di Makassar luar biasa. Sebab seekor ular bertelur menghasilkan 29 butir.
Ditambah lagi, rantai makanan terganggu. Hewan pemangsa ular itu elang.
Kondisi Kota Makassar yang ramai sekarang ini sulit ditemukan elang lagi.
“Predator ular itu elang. Elang di Makassar sudah jarang, makanya rantai makanan ekosistem tidak balance,” sebutnya.
Populasi Biawak Meningkat
Muhammad Rasul tak pungkiri populasi biawak yang meningkat karena tak dilindungi.
Apalagi, biawak ini makanannya ular piton kecil atau telur ular.
“Populasinya meningkat karena biawak tak dilindungi,” tandasnya. (*)
Maros Gunakan Skema Inpres Jalan Daerah untuk Biayai Proyek Infrastruktur |
![]() |
---|
75 Siswa Kurang Mampu Masuk Sekolah Rakyat SMP Takalar, Belajar Karakter dan Agama |
![]() |
---|
Jumardi Tewas di Sungai Lembang Bulukumba, Keluarga Ungkap Kondisi Sebelumnya |
![]() |
---|
Kondisi Terkini Kantor Bupati Bone Usai Demo Ricuh Tolak Kenaikan PBB-P2 |
![]() |
---|
71 Ribu Objek Pajak di Maros Digratiskan, Nilai Tembus Rp1,4 Miliar |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.