Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Gubernur Sulteng Anwar Hafid: Negeri Hancur karena Tambang, Hasilkan Rp500 T Bagi Hasil Rp200 M

Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid blak-blakan dalam rapat dengar pendapat Komisi II DPR RI, 30 April 2025 lalu. 

Editor: Muh Hasim Arfah
dok tv parlemen
BLAK-BLAKAN ANWAR-Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid blak-blakan dalam rapat dengar pendapat Komisi II DPR RI, 30 April 2025 lalu. Ia mengatakan, Sulawesi Tengah hancur-hancuran.  

TRIBUN-TIMUR.COM- Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid blak-blakan dalam rapat dengar pendapat Komisi II DPR RI, 30 April 2025 lalu. 

Ia mengatakan, Sulawesi Tengah hancur-hancuran. 

Bahkan, Sulteng bisa saja menjadi daerah ‘hantu’ jika Nikel sudah habis dikeruk dari "Negeri Seribu Megalith".

Anwar Hafid, menyuarakan keprihatinannya terkait dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi akibat maraknya aktivitas pertambangan di wilayahnya. 

Ia menegaskan bahwa meskipun Sulteng menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar, rakyatnya tidak merasakan hasil dari eksploitasi tambang.

Dia menyampaikan keprihatinan mendalam terkait dampak besar yang ditimbulkan oleh industri pertambangan nikel di daerahnya.

Dalam pertemuan resmi dengan Komisi II DPR RI dan Menteri Dalam Negeri, Anwar menegaskan bahwa meskipun sektor pertambangan menyumbang devisa yang signifikan bagi negara, rakyat Sulawesi Tengah tidak merasakan manfaat yang sebanding.

"Negeri kami itu hancur-hancuran, Pak. Tambang di mana-mana. Tapi rakyat kami tidak menikmati hasilnya," ungkap Anwar dengan nada penuh keprihatinan. 

“Negeri kami akan menjadi negeri hantu,” katanya. 

Ia menjelaskan presiden menyampaikan, ada Rp570 triliun pajak dari nikel. 

“Sulteng adalah penyumbang devisa terbesar di Indonesia. Kawasan itu nggak bisa diapa-apai semua kendaraan bebas,” katanya. 

Pernyataan ini mengungkapkan kegelisahan yang dirasakan masyarakat setempat, yang merasa tidak mendapatkan keuntungan langsung dari sumber daya alam yang mereka miliki.

Anwar juga menyoroti adanya ketimpangan dalam pengelolaan industri tambang, di mana otoritas pemerintah daerah sering kali dilemahkan oleh kepentingan industri besar. 

"Gubernur tidak bisa masuk, Pak. Para pengusaha itu bilang ini kawasan industri spesial. Enggak boleh. Semua berdalih atas izin Undang-Undang Usaha Industri," jelasnya, menekankan bahwa pemerintah daerah sering kali tidak memiliki kontrol atas keputusan-keputusan yang diambil oleh perusahaan-perusahaan besar.

Sulawesi Tengah, meskipun menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar Indonesia dari sektor pertambangan, hanya memperoleh Rp222 miliar dari bagi hasil tambang, sebuah angka yang dianggap sangat kecil dibandingkan dengan potensi besar yang dimiliki daerah tersebut.

Menurut Anwar, industri pertambangan harus menguntungkan daerah penghasilnya, namun kenyataannya, banyak yang merasa terabaikan.

Chairman Rabu Hijrah, Phirman Rezha, yang juga merupakan putra Sulawesi Tengah, mendukung pernyataan Gubernur Anwar. 

Phirman menekankan pentingnya perbaikan sistemik agar rakyat di daerah penghasil bisa merasakan manfaat dari kekayaan alam mereka.

"Tambang itu pasti akan habis. Tapi kalau selama proses eksploitasi rakyat tidak merasakan dampak positif yang signifikan, maka merekalah yang paling dirugikan. Negara harus hadir untuk mensejahterakan rakyatnya," ujar Phirman dengan tegas.

Phirman juga mendesak pemerintah pusat untuk merevisi UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, agar dana bagi hasil (DBH) dari sektor pertambangan bisa lebih adil dan proporsional untuk daerah penghasil.

Ia menekankan pentingnya menjadikan model PT Vale sebagai contoh distribusi yang lebih berpihak kepada daerah.

"Belajarlah dari model PT Vale. Ini soal keadilan fiskal. Jangan sampai daerah penghasil hanya jadi penonton dari perusakan alam mereka sendiri," tambah Phirman.

Dengan adanya desakan dari berbagai pihak, Phirman berharap evaluasi menyeluruh terhadap regulasi pertambangan nasional, serta mendorong kebijakan yang lebih adil, menjamin keterlibatan pemerintah daerah, perlindungan lingkungan, dan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas utama.

"Isu ini mencerminkan tantangan besar dalam pengelolaan sumber daya alam nasional, di mana kepentingan ekonomi harus selalu berjalan beriringan dengan prinsip keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan kedaulatan daerah," pungkas Phirman.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved