Opini Andi Wanua Tangke
Yang Mulia: Pak Hakim!
Bermula segelintir, kini tumbuh menjadi banyak hakim telah menodai profesinya. Tentu, kamu menyebutnya oknum. Silakan.
Oleh: Andi Wanua Tangke
Prosais Sulsel
TRIBUN-TIMUR.COM - Setiap kata "Yang Mulia" terucap untukmu, Pak Hakim: setiap itu juga mendengung suara-suara nyaring, entah dari sudut mana, yang memprotesnya.
Ada perlawanan nurani sebagai paradoks untuk "gelarmu" itu. "Masihkah pantas Yang Mulia melekat pada dirimu?"
Bermula segelintir, kini tumbuh menjadi banyak hakim telah menodai profesinya. Tentu, kamu menyebutnya oknum. Silakan.
Adalah Muhammad Arif Nuryanta: selalu tampil bersemangat dan tampak gagah. Tinggi badannya sedang. Berkulit putih. Wajahnya bersih. Berwibawa. Pakaiannya rapi.
Kadang memerlihatkan senyum tipis. Mungkin juga pikirannya arif: seperti namanya.
Sabtu kemarin: penampilan gagah dan wajah berwibawa itu tak lagi melekat pada diri lelaki Arif.
Wajahnya yang putih bersih itu tiba-tiba pucat dan mengesankan munculnya aura dan raut kecemasan teramat dalam.
Perubahan drastis itu terlihat saat Arif yang kini menjabat Kepala Pengadilan Negeri Jakarta Selatan: dipakaikan baju rompi berwarna merah dan kedua tangannya diborgol oleh pihak Kejaksaan Agung.
Puluhan jurnalis bertanya pada Arif saat menuju mobil tahanan Kejaksaan Agung: Arif tak menjawabnya.
Sembari berjalan cepat: dia memilih tertunduk hingga berakhir duduk di kursi khusus di mobil khusus yang pintunya khusus tertutup rapat itu.
Arif ditangkap Kejaksaan Agung: diduga menerima suap senilai 60 milyar rupiah. Tiga korporasi yang berhasil dibebaskan tuntutannya sebagai terdakwa oleh hakim Arif, masing-masing: Permata Hijau Group, Wimar Group, dan Musim Mas Group.
Ketiganya terdakwa trilyunan rupiah dalam kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng. Arif ditangkap bersamaan: dua pengacara terdakwa dan satu panitera muda.
Dalam kasus ini, pihak kejaksaan menduga tidak hanya empat orang itu yang terlibat. Benar, beberapa jam kemudian: hasil pelacakan kejaksaan menangkap lagi tiga hakim.
Ketiga hakim yang "bersekongkol" dengan Arif itu, masing-masing: Agam Syarif Badarudin, Ali Muhtaro, dan Djuyamto. Ketiganya mendapat milyaran uang suap lewat Arif.
Hakim oh Hakim. Ketika kasus yang melibatkan hakim terus lahir dan lahir, entah kapan ujungnya dan berakhir: masihkah pantas seorang hakim dipanggil dengan sebutan "Yang Mulia" ?
Ketika hakim dipanggil "Yang Mulia" dalam sebuah persidangan: seakan merefleksikan nuansa paradoks. Hal itu terjadi lantaran banyaknya orang yang berprofesi hakim, namun tingkahnya tak lagi mencerminkan tingkah yang mulia.
Justru yang tampak tingkah atau perbuatan yang jauh dari kemuliaan: seperti empat hakim baru saja ditangkap oleh pihak kejaksaan. Jumlah suapnya tidak main-main: 60 milyar rupiah!
Merenungi tingakh-tingkah hakim yang "menjual nuraninya dan harga dirinya" : betapa rapuhnya moralitas manusia-manusia yang "wajib" dipanggil "Yang Mulia" itu.
Pada 1990-an, saat itu saya sudah aktif sebagai jurnalis. Saya bertemu seorang pemuda di sebuah kota. Pemuda itu berprofesi sebagai polisi. Sebut saja namanya: Akram.
Akram menyampaikan masalahnya ke saya. Biar lebih jelas, baiklah, sepintas saya kisahkan saja.
Ketika Akram bertugas sebagai polisi lalu lintas, dia menahan seorang pengendara motor lantaran melanggar rambu jalan. Pengendara itu seorang gadis. Anak pengusaha terpandang di kota tempat Akram bertugas.
Singkatnya, dari proses pertemuan itu: menjadi awal tumbuhnya cinta Akram bersama gadis cantik itu.
Sejak itu: hubungan sejoli ini kian akrab dan romantis. Tak terasa enam bulan sudah jalinan cinta, Akram berniat mengakhirinya dengan melamar pujaannya. Si gadisnya itu pun memersilakan Akram melamarnya ke orang tuanya.
Akram tak menduga akan menemukan kendala atau rintangan besar untuk bersekutu lebih jauh bersama gadisnya. Ada apa? Ternyata sang orang tua: ayah gadis itu menolak anaknya bersuamikan pemuda yang berprofesi polisi.
"Bukan hanya polisi yang ditolak menjadi menantu, juga hakim dan jaksa. Pokoknya: orang tua itu tak mau anaknya menikah dengan orang yang berprofesi: polisi, hakim, dan jaksa." Akram menyampaikan kisahnya serius tanpa senyum.
Cinta Akram sudah hitam putih. Baginya, tak ada lagi pilihan: dia harus memperistrikan kekasihnya. Akhirnya Akram mundur dari dunia kepolisian, demi memenuhi permintaan calon mertuanya. Pesta pun digelar. Si gadis pun resmi menjadi istrinya.
Suatu hari Akram memberanikan diri bertanya kepada sang mertua: mengapa menolak polisi, hakim, dan jaksa, menjadi menantu? "Saya ingat pesan leluhur saya: jangan pernah menjadikan menantu mereka yang bekerja di bidang itu." Akram menyampaikan jawaban sang mertua.
Akram: pilihan itu, bukan berarti mertuanya membenci ketiga profesi itu. "Tidak, mertua saya tetap meyakini bahwa dalam hidup ini kita tetap butuh profesi itu. Hanya saja dia tak mau menjadikannya menantu."
Ditangkapnya hakim Arif bersama tiga hakim sekutunya menerima suap 60 milyar rupiah: tiba-tiba saja mengingatkan saya kisah mertua Akram yang menolak: polisi, hakim, jaksa, menjadi menantu.
Bulog Optimistis Salurkan Beras SPHP 45 Ribu Ton Jelang Desember |
![]() |
---|
Kalahkan 3 Kadis Gubernur Sulsel Andi Sudirman Juara 1 Panahan, Senang Dapat Sepeda |
![]() |
---|
Ketika Nasionalisme Direduksi: Dari Bendera Bajak Laut hingga Animasi Rp 6,7 Miliar |
![]() |
---|
Asmo Sulsel Convoy Merdeka Bareng Bikers Honda Stylo 160 di HUT ke-80 RI |
![]() |
---|
Hubungan Megawati Prabowo Retak? Pilih Tak Hadir Upacara 17 Agustus di Istana |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.