Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Sosiolog Unhas Nilai Pengesahan Revisi UU TNI Terburu-buru

Akademisi Universitas Hasanuddin (Unhas) Dr Rahmat Muhammad mengakui adanya kekhawatiran masyarakat terkait dwifungsi TNI.

Penulis: Faqih Imtiyaaz | Editor: Saldy Irawan
TRIBUN-TIMUR.COM/MUSLIMIN
Massa aksi Tolak Revisi Undang-Undang TNI melanjutkan unjuk rasa di depan kantor DPRD Sulsel, Jl Urip Sumoharjo, Makassar, Kamis (20/3/2023) sore. 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Revisi Undang-Undang (RUU) TNI resmi disahkan 

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengesahkan RUU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menjadi Undang-Undang (UU). Keputusan disepakati dalam Rapat Paripurna DPR ke-15 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 yang digelar di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (20/3/2025).

Gelombang protes pun mengalir usai pengesahan UU TNI.

Aksi unjuk rasa serentak dilakukan dari berbagai Kabupaten/kota.

Akademisi Universitas Hasanuddin (Unhas) Dr Rahmat Muhammad mengakui adanya kekhawatiran masyarakat terkait dwifungsi TNI.

Ia melihat penyusunan RUU TNI dilakukan terlalu cepat bahkan terkesan terburu-buru.

Hanya dalam waktu hitungan hari pembahasan RUU TNI sudah selesai.

Pembahasannya pun dilakukan tertutup di salah satu hotel di Jakarta.

"kesannya kan terburu-buru, tertutup, bertentangan dengan efisiensi anggaran," kata Dr Rahmat Muhammad kepada Tribun-Timur.com pada Kamis (20/3/2025).

Ia melihat perumusan RUU TNI tidak terbuka melibatkan masyarakat sipil.

Hal ini menimbulkan gelombang protes dari masyarakat, mahasiswa maupun akademisi. 

"Ini penjelasan DPR terhadap RUU ini sebenarnya kurang dan minim. Sehingga masyarakat tidak banyak yang tau Seandainya tidak diungkap (yang protes) di hotel," lanjutnya.

Dr Rahmat Muhammad pun mempertanyakan peran DPR RI.

DPR RI sebagai fungsi perwakilan rakyat, dinilai justru tidak terbuka mewakili aspirasi rakyat.

Hal itu dapat dibuktikan dari gelombang protes yang terjadi di jalan hingga media sosial.

"Ada aspirasi masyarakat sipil, kampus, dosen, mahasiswa, yang meminta ruang diskusi. Andai ruang itu ada mungkin semua menerima. Tapi karena ruang itu boleh dikata tidak ada, meskipun dijustifikasi panja sudah dilakukan. Kan indikatornya jelas,kalau sudah dilakukan maka tidak ada riak-riak," ujarnya.

"Sebenarnya kesempatan diskusi publik bisa minimal 1 bulan. Tapi ini hanya seminggu ketuk palu dalam keadaan masyarakat tidak punya kesempatan. Jadi dimaklumi kalau ada kecewa karena tidak ada partisipasi masyarakat," sambungnya.

Ada tiga pasal krusial itu tertuang dalam RUU TNI.

Pasal 7 mengatur tentang operasi militer selain perang atau OMSP. Kemudian Pasal 47 terkait dengan penempatan TNI di kementerian dan lembaga.

Pasal 47 ini menambah keterlibatan TNI di Kementerian/Lembaga.

Kini TNI bisa menduduki jabatan sipil di 14  Kementerian/Lembaga, usai sebelumnya hanya 10 K/L. 

"Pasal ini sebenarnya kalau mau diliat faktanya sudah berlangsung, perlu backup UU supaya tidak dipersalahkan," ujar Dr Rahmant Muhammad.

Serta ada Pasal 53 menyangkut batas usia pensiun.

Dr Rahmat Muhammad mengaku adanya kekhawatiran besar masyarakat.

Apalagi dengan sejarah kelam dwifungsi angkatan bersenjata.

"Kita punya sejarah buruk Ketika dwifungsi TNI, sebagai sosial politik dan keamanan. Inilah kecurigaan itu. Harusnya dijelaskan dengan baik. Tidak musti terburu-buru. Itu berpotensi," kata pakar sosiologi ini.

Senada dengannya, akademisi Unhas Adi Suryadi Culla juga mengakui pengesahan RUU TNI sangat terburu-buru.

Adi Suryadi Culla mengaku sangat penting pelibatan masyarakat sipil dalam perumusan draft RUU TNI.

"Karena ada kekhawatiran seperti disuarakan akan kembalinya dwifungsi ABRI seperti yang terjadi di orde baru. Dalam konteks ini pembahasan sebaiknya sebelum disahkanc sangat urgent untuk mempertimbangkan suara masyarakat," ujar Adi Suryadi Culla.

Pengesahan ini pun kini sudah dilakukan, bahkan disetujui semua fraksi di DPR RI.

Adi Suryadi menekankan pentingnya pengawasan terhadap implementasi kebijakan ini.

 "Menurut saya pengawasan sangat penting nantinya, seharusnya ada mekanisme yang bisa memberi control terhadap implementasi UU tersebut. Karena banyak sektor yang mungkin bisa menjadi celah bagi TNI," kata Adi Suryadi Culla.

Dengan pengesahan ini, Adi mengaku ada celah kedepannya posisi TNI dalam jabatan sipil makin meluas.

"Ada pasti sejumlah celah yang kemungkinan bisa melebar. Banyak sektor bisa TNI masuk ya," katanya.

Catatan sejarah dwifungsi angkatan bersenjata dinilai Adi Suryadi Culla menyisakan trauma.

Masyarakat pun kini dalam kegelisahan melihat pengesahan RUU TNI.

"Dulu TNI bukan kekuatan pertahanan dan keamanan, tapi social politik, bahkan punya fraksi DPR. Terkait dwifungsi itu paling sensitif. Keberadaan TNI jadi kekuatan Politik," ujarnya.

Dua penekanan Adi Suryadi Culla, perlu ada mekanisme pengawasan dan batasan terhadap kekuatan TNI di jabatan sipil.

 


Laporan Wartawan Tribun-Timur.com, Faqih Imtiyaaz

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved