Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Nasaruddin Umar

Merawat Kemabruran Puasa 13: Antara Istigfar dan Taubat

Dalam kitab Hadâiq al-Haqâiq karya Muhammad bin Abi Bakar bin Abd Kadir Syamsuddin Al- Razi (W. 660 H).

Editor: Sudirman
TRIBUNNEWS/LENDY RAMADHAN
RAMADHAN - Menteri Agama RI Nasaruddin Umar melakukan sesi wawancara khusus dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra di Studio Tribun Network, Jalan Palmerah Selatan, Jakarta Pusat, Selasa (28/1/2025). Nasaruddin Umar merupakan penulis Merawat Kemabruran Puasa terbit setiap hari di Tribun Timur. 

Oleh: Prof Dr KH Nasaruddin Umar MA

Menteri Agama

TRIBUN-TIMUR.COM - Lain istigfar lain taubat. Istigfar adalah ungkapan spontanitas seorang hamba yang baru saja menyadari kekhilafannya dengan mengucapkan kalimat istgfar, misalnya astagfirullahal ’adhim.

Sedangkan taubat lebih dari sekedar itu. Taubat menuntut persyaratan lebih banyak.

Dalam kitab Hadâiq al-Haqâiq karya Muhammad bin Abi Bakar bin Abd Kadir Syamsuddin Al- Razi (W. 660 H).

Taubat disyaratkan dengan meninggalkan perbuatan dosa dan maksiyat, mengucapkan kalimat istigfar, seraya menyesali perbuatan dosa dan maksiyat itu, bertekad dalam hati untuk tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi.

Sebagian ulama menambahkan syarat meminta maaf kepada mereka yang telah dianiaya dan mengembalikan hak-hak mereka, mengganti perbuatan dosa dan maksiyat itu dengan amal kabajikan.

Menghancurkan daging dan lemak yang tumbuh dalam dirinya yang berasal dari sumber yang haram dengan cara al-riyadhah.

Yakni menjalani latihan jasmani dan rohani dalam menempuh berbagai tahapan menuju kedekatan diri kepada Allah SWT, dan mujahadah.

Yakni perjuangan melawan dorongan nafsu amarahnya, tidak makan, minum, dan memakai pakaian kecuali yang bersumber dari yang halal, dan mensucikan hati dari sifat khianat, tipu daya, sombong, irihati, dengki, panjang angan-angan, lupa terhadap kematian, dan yang semacamnya.

Dengan demikian, taubat lebih berat daripada istigfar.

Taubat dalam kitab Ihya ’Ulumuddin karya monumental Al-Gazali (W. 505 H), mengisyaratkan ada tiga tingkatan.

Pertama, taubatnya orang awam, yaitu taubat dari dosa dan maksiyat.

Kedua, taubatnya orang khawas, yaitu taubat tidak karena melakukan dosa atau maksiyat melainkan taubat karena alfa melakukan ketaatan yang bersifat sunnat, misalnya
meninggalkan shalat dhuha, shalat tahajjud, puasa Senin-Kamis, dll.

Ketiga, taubatnya orang khawashul khawash, yaitu taubat bukan karena dosa dan maksiyat atau meninggalkan ketaatan sunnat, apalagi wajib, melainkan taubat karena berkurangnya nilai khusyu dari seluruh rangkaian rutinitas ibadah yang dilakukan.

Sumber: Tribun Timur
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved