Nasaruddin Umar
Merawat Kemabruran Puasa 13: Antara Istigfar dan Taubat
Dalam kitab Hadâiq al-Haqâiq karya Muhammad bin Abi Bakar bin Abd Kadir Syamsuddin Al- Razi (W. 660 H).
Oleh: Prof Dr KH Nasaruddin Umar MA
Menteri Agama
TRIBUN-TIMUR.COM - Lain istigfar lain taubat. Istigfar adalah ungkapan spontanitas seorang hamba yang baru saja menyadari kekhilafannya dengan mengucapkan kalimat istgfar, misalnya astagfirullahal ’adhim.
Sedangkan taubat lebih dari sekedar itu. Taubat menuntut persyaratan lebih banyak.
Dalam kitab Hadâiq al-Haqâiq karya Muhammad bin Abi Bakar bin Abd Kadir Syamsuddin Al- Razi (W. 660 H).
Taubat disyaratkan dengan meninggalkan perbuatan dosa dan maksiyat, mengucapkan kalimat istigfar, seraya menyesali perbuatan dosa dan maksiyat itu, bertekad dalam hati untuk tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi.
Sebagian ulama menambahkan syarat meminta maaf kepada mereka yang telah dianiaya dan mengembalikan hak-hak mereka, mengganti perbuatan dosa dan maksiyat itu dengan amal kabajikan.
Menghancurkan daging dan lemak yang tumbuh dalam dirinya yang berasal dari sumber yang haram dengan cara al-riyadhah.
Yakni menjalani latihan jasmani dan rohani dalam menempuh berbagai tahapan menuju kedekatan diri kepada Allah SWT, dan mujahadah.
Yakni perjuangan melawan dorongan nafsu amarahnya, tidak makan, minum, dan memakai pakaian kecuali yang bersumber dari yang halal, dan mensucikan hati dari sifat khianat, tipu daya, sombong, irihati, dengki, panjang angan-angan, lupa terhadap kematian, dan yang semacamnya.
Dengan demikian, taubat lebih berat daripada istigfar.
Taubat dalam kitab Ihya ’Ulumuddin karya monumental Al-Gazali (W. 505 H), mengisyaratkan ada tiga tingkatan.
Pertama, taubatnya orang awam, yaitu taubat dari dosa dan maksiyat.
Kedua, taubatnya orang khawas, yaitu taubat tidak karena melakukan dosa atau maksiyat melainkan taubat karena alfa melakukan ketaatan yang bersifat sunnat, misalnya
meninggalkan shalat dhuha, shalat tahajjud, puasa Senin-Kamis, dll.
Ketiga, taubatnya orang khawashul khawash, yaitu taubat bukan karena dosa dan maksiyat atau meninggalkan ketaatan sunnat, apalagi wajib, melainkan taubat karena berkurangnya nilai khusyu dari seluruh rangkaian rutinitas ibadah yang dilakukan.
Menag Nasaruddin Umar: As’adiyah Macanang Tumbuh Pesat Sejak Sebelum Saya Menjabat |
![]() |
---|
Merawat Kemabruran Puasa 29: Dari Salam, Islam, dan ke Istislam |
![]() |
---|
Merawat Kemabruran Puasa 28: Dari Sufi Palsu ke Sufi Sejati |
![]() |
---|
Merawat Kemabruran Puasa 27: Dari Wirid ke Warid |
![]() |
---|
Merawat Kemabruran Puasa 26: Dari Ta’abbud ke Isti’anah |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.