Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Aswar Hasan

Urgensi Teks dan Konteks Secara Proporsional dalam Memahami Agama

Setelah mendengar sabda tersebut, para sahabat berangkat menuju Bani Quraizah.

|
Editor: Sudirman
Ist
Aswar Hasan, Dosen Fisipol Unhas 

Sepenuhnya, kesimpulan  pendapat beliau (guru saya) saya sependapat dengan catatan bahwa tidak semua teks agama harus dikontekstualisasi. Sebaliknya, memahami agama secara tekstual semata juga harus dihindari.

Bahaya Kontektualisasi

Jika semua teks agama dikontekstualisasikan tanpa panduan metodologis yang jelas, tafsir agama dapat menjadi liar dan tidak terkendali.

Setiap orang dapat memberikan interpretasi yang sesuai dengan pemahamannya sendiri, tanpa mempertimbangkan landasan keilmuan atau kesepakatan ulama.

Menyebabkan berkembangnya faham  dekonstruksi sebagai ekses faham liberalisme yang mengakibatkan terjadinya   anarki tafsir dalam memahami teks agama.

“Dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat.” (QS. Al-Baqarah: 43) Adalah contoh ayat tekstual yang tak memerlukan kontekstualisasi.

Perintah ini sering dipahami secara harfiah tanpa memerlukan konteks apalagi dekonstruksi,  karena salat dan zakat adalah kewajiban yang sudah jelas tata caranya dalam Islam.

Jacques-Marie Émile Derrida adalah bapak deconstruction (dekonstruksi). Ia berpendapat bahwa makna teks selalu bersifat cair, kontekstual, dan terbuka untuk berbagai interpretasi.

Dalam konteks agama, pendekatan ini dapat menyebabkan pandangan bahwa teks agama hanya relevan dalam konteks historisnya dan tidak memiliki keabadian makna.

Dengan kata lain bebas untuk kontekstualisasi demi pemaknaan yang terbuka.

Pandangan Derrida diadaptasi oleh beberapa cendekiawan Muslim kontemporer yang banyak dianut termasuk di Indonesia.

Dalam menafsirkan ulang Al-Qur’an dan hadis, sering kali dengan mengabaikan makna literal atau tradisionalnya.

Seperti yang dilakukan Nasr Hamid Abu Zaid Seorang pemikir Mesir yang menekankan bahwa teks agama memiliki dimensi historis dan harus dipahami sesuai konteks sosial-politik ketika teks itu diturunkan. 

Pendekatan tersebut, menuai kritik karena dianggap mendekonstruksi makna sakral teks agama.

Selain Nasr Hamid Abu Zaid ada Mohammed Arkoun Pemikir asal Aljazair yang juga mengkritik tafsir tradisional dan mendorong pendekatan rasional terhadap teks agama.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Kajili-jili!

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved