Headline Tribun Timur
Pengamat Sebut Pemilih Cenderung Pilih Calon Lebih Dekat di Pilkada Sulsel
Banyak calon dari keluarga berkuasa gagal melanjutkan tradisi politik mereka di Pilkada Serentak 2024 ini.
TRIBUN-TIMUR.COM - Banyak calon dari keluarga berkuasa gagal melanjutkan tradisi politik mereka di Pilkada Serentak 2024 ini.
Hal inilah membuka jalan bagi munculnya wajah-wajah baru di pentas politik di sejumlah Pilkada kabupaten/kota.
Menurut pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Prof Firdaus Muhammad, perubahan besar ini menunjukkan pergeseran signifikan dalam preferensi pemilih.
Ia menjelaskan bahwa kontestasi Pilkada berbeda dengan Pemilu Legislatif (Pileg) yang lebih terbuka dengan banyak pilihan.
Sementara Pilkada, menurutnya, memiliki nuansa yang lebih personal dan emosional.
Di mana pemilih cenderung memilih calon yang lebih dekat dengan mereka, baik dari segi kedekatan personal maupun program yang ditawarkan.
"Kontestasi Pileg dan Pilkada berbeda nuansanya. Pileg lebih terbuka dengan banyak pilihan. Sementara pilkada lebih personal dan emosional, memilih calon yang lebih dekat dengan pemilih, pertimbangan tokoh dan programnya," kata Prof Firdaus Muhammad kepada Tribun-Timur.com, Selasa (3/12).
Baca juga: 9 Dinasti Politik ‘Rontok’ di Pilkada Sulsel, Dukungan Banyak Parpol Tak Jamin Menang
Lebih lanjut, Prof Firdaus menilai bahwa pemilih kini semakin kritis dalam memilih calon kepala daerah.
Keinginan untuk perubahan, serta kekecewaan terhadap penguasa lama yang dianggap tidak lagi relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Ini menjadi faktor utama yang mendorong pergeseran preferensi pemilih.
"Jadi ada kecenderungan pemilih bergeser dengan alasan program dan kedekatan personal kandidat, pemilih ingin wajah baru," tambahnya.
Sebagai contoh, dalam Piwali Palopo, calon Farid Kasim Judas (FKJ-NUR), merupakan anak dari mantan Wali Kota Judas Amir, harus menerima kenyataan pahit setelah kalah tipis dari Trisal Tahir-Akhmad Syarifuddin.
Hal sama terjadi di sejumlah daerah lain di Sulsel, di mana calon dari dinasti politik gagal mempertahankan posisi mereka.
Dia menambahkan, meskipun ada pergeseran besar, kepercayaan masyarakat terhadap dinasti politik sebenarnya bergantung pada daya tarik figur calon yang maju.
"Dan tergantung daya tarik figur, tentu beda sosok suami yang berhasil memimpin dengan istri atau anak yang didorong. Bahkan incumbent sekalipun ada juga tidak terpilih lagi. Jadi pemilih memiliki alasan menentukan pilihan," tandasnya.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.