Opini
Forum Kemanusiaan Lintas Agama: Legasi Prof Wahyuddin Naro M Hum untuk Relasi antar Agama di Sulsel
Sebuah pribahasa yang ingin menekankan bahwa kepergiaan seseorang tidak akan serta merta membuatnya dilupakan.
Perjumpaan itu harus melahirkan sesuatu atau setidaknya menghadirkan sebuah kegiatan. Bukan hanya sekedar bertemu.
Perlu ada ruang bersama di mana pemeluk agama melakukan kegiatan bersama-sama dan setiap umat beragama meyakini bahwa kegiatan itu merupakan bagian dari ajaran agamanya.
Sebuah kegiatan yang ketika dilaksanakan maka Umat Islam akan merasa bahwa itu adalah perintah ajaran Islam, Umat Kristen akan merasa itu sebagai bagian ajaran Kristen, pun demikian halnya dengan umat Katolik, Hindu, Buddha dan
Konghucu.
Yang dibutuhkan dalam dialog antar iman bukan hanya sekedar dialog formal namun lebih kepada dialogue of life.
Sebuah konsep dialog yang ditunjukan melalui kegiatan kegiatan bersama.
Isu yang dianggap menjadi isu yang mempertemukan semua kepentingan umat beragama tersebut adalah isu kemanusiaan.
Itulah sebabnya maka Forum Kemanusiaan Lintas Agama dipilih menjadi nama.
Dia merepsesentasikan titik temu agama-agama dan menjadi ruang bersama untuk gerakan lintas agama.
Salah satu hal menarik yang terjadi sebelum pembentukan kegiatan itu adalah saat menentukan kapan dan majelis lembaga apa saja yang akan diundang dalam deklarasi tersebut.
Saat itu diputuskan bahwa setiap agama akan diundang Majelis agamanya masing-masing.
Namun muncul kebingungan saat akan mengundang teman-teman umat Buddha.
Apakah akan mengundang wakil dari Walubi atau mengundang wakil dari Permabudhi.
Di saat yang lain bingung, Prof Naro memilih untuk mengundang keduanya.
Dengan begitu setiap majelis akan merasa terwakilkan. Ini memberikan pengajaran bahwa konflik dan perbedaan bukanlah hal yang harus dihindari.
Cara menghadapi konflik bukanlah menghindari namun menyelesaikannya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.