Bandingkan Hukuman Syahrul YL dan Terpidana Korupsi Timah Rp300 T, Korupsi 'Banyak' Dihukum Ringan
Selain pidana badan, Majelis Hakim Tinggi juga menjatuhkan pidana denda sebesar Rp 500 juta subsider 4 bulan kurungan kepada SYL
TRIBUN-TIMUR.COM - Hukuman mantan menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) dan terdakwa korupsi timah yang merugikan negara Rp300 triliun.
Korupsi banyak lebih ringan hukumannya dibanding Syahrul mantan Gubernur Sulsel itu.
Padahal dalam kasus Syharul Yasin Limpo, jumlah kerugian jauh lebih sedikit yakni Rp14, 1 miliar.
Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memperberat hukuman Syahrul menjadi 12 tahun penjara dalam kasus dugaan pemerasan di lingkungan Kementerian Pertanian (Kementan).
Putusan tersebut mengubah hukuman pidana badan dan pidana uang pengganti yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat nomor 20/Pid.Sus-TPK/2024/PN Jkt.Pst tertanggal 11 Juli 2024.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Syahrul Yasin Limpo oleh karena itu dengan pidana penjara selama 12 tahun,” Kata Ketua Majelis Hakim Artha Theresia dalam sidang di Pengadilan Tinggi Jakarta, Selasa (10/9/2024).
Selain pidana badan, Majelis Hakim Tinggi juga menjatuhkan pidana denda sebesar Rp 500 juta subsider 4 bulan kurungan kepada SYL
Tidak hanya itu, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi juga mengubah hukuman tambahan berupa pembayaran uang pengganti menjadi Rp 44.269.777.204 ditambah 30.000 dollar AS.
Hukuman ini lebih berat daripada vonis 10 tahun penjara yang dijatuhkan Pengadilan Tipikor Jakarta.
Di tingkat pertama, mantan Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) itu juga hanya dijatuhi pidana denda sebesar Rp 300 juta subsider empat bulan kurungan.
Kemudian, SYL juga dijatuhi pidana uang pengganti sebesar Rp 14.147.144.786 dan 30.000 dollar Amerika Serikat (AS).
Adapun perkara nomor 46/PID.SUS-TPK/2024/PT DKI ini bakal diadili oleh Hakim Artha Theresia sebagai Ketua Majelis bersama Hakim Subachran Hardi Mulyono, Hakim Teguh Hariyanto, Hakim Anthon R. Saragih dan Hakim Hotma Maya Marbun sebagai anggota Majelis.
Eks Politikus Partai Nasdem itu dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum telah melakukan pemerasan di lingkungan Kementan RI.
Majelis Hakim menilai, SYL telah melanggar Pasal 12 huruf e Juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan Pertama.
Bandingkan putusan Toni Tamsil terpidana kasus timah
Toni Tamsil atau yang akrab dipanggil Akhi merupakan pengusahan di Bangka Tengah.
Toni adalah adik kandung dari Thamron Tamsil, pemilik CV Venus Inti Perkasa (VIP) dan komisaris PT Menara Cipta Mulia (MCM).
Diketahui mereka ditangkap oleh Kejaksaan Agung dalam waktu yang berbeda.
Toni ditangkap lebih dulu pada 25 Januari 2024, sementara Thamron pada Februari 2024.
Toni dijadikan tersangka oleh penyidik atas upaya menghalang-halangi proses penyidikan atau obstruction of justice.
Dilansir dari Kompas.com, perintangan tersbeut dilakukan saat penyidik kejagung hendak menyita beberapa aset alat berat yang diduga terkait dengan perkara PT Timah Tbk.
Alat berat itu diantaranya berupa 53 eksavator dan dua buldoser.
Akan tetapi, alat-alat berat itu kemudian disembunyikan oleh Toni di dalam hutan dan bbengkel.
Ia juga sempat mengancam akan membakar barang bukti tersebut.
Selain itu, merujuk pada detail perkara yang diunggah di laman SIPP Pengadilan Negeri (PN) Pangkal Pinang, Toni berusaha menyembunyikan barang bukti dokumen.
Dokumen perusahaan CV VIP dan PT MCM dia sembuyikan dalam mobil yang terparkir di halaman belakang rumahnya dalam waktu lama.
Toni juga dengan sengaja menonaktifkan ponselnya dan bersembunyi ketika penyidik akan menggeledah rumah dan Toko Mutiara miliknya.
Bahkan, untuk menghilangkan barang bukti digital, dia juga merusak ponsel-ponselnya.
JPU belum tanggapi putusan hakim
Atas perbuatannya, kasus Toni Tamsil pun didaftarkan ke PN Pangkal Pinang pada 3 Juni 2024.
Berdasarkan putusan nomor 6/Pid.Sus-TPK/2024/PN Pgp yang dibacakan pada Kamis (29/8/2024), Toni terbukti secara sah melakukan obstruction of justice dan melanggar Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Toni pun dijatuhi hukuman pidana 3 tahun penjara dan wajib membayar biaya perkara Rp 5.000.
Dalam sidang tuntutan sebelumnya pada Minggu (1/8/2024), Toni dinilai jaksa terbukti melanggar pasal yang sama dan dituntut hukuman pidana penjara selama 3 tahun 6 bulan.
Ia juga dituntut membayar denda Rp 200 juta yang jika tidak dilunasi harus diganti 3 bulan kurungan, serta biaya perkara Rp 10.000. Namun, kala itu pembelaan kuasa hukum terdakwa belum siap.
Dilansir Kompas.id, Selasa (3/8/2024), menanggapi putusan majelis hakim, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar mengatakan, jaksa penuntut umum belum memutuskan akan mengajukan banding atau tidak.
"Sikap jaksa penuntut umum, pikir-pikir selama 7 hari setelah putusan dibacakan sesuai hukum acara," kata JPU.
Penghitungan kerugian keuangan negara Besaran angka kerugian keuangan negara atas praktik korupsi PT Timah pun menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana penghitungan kerugian keuangan negara sehingga sampai pada nominal tersebut.
Berbicara mengenai kerugian keuangan negara perlu untuk mengetahui terlebih dahulu perihal apa saja yang dimaksud dan menjadi bagian keuangan negara.
Menurut UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, mendefinisikan keuangan negara sebagai semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara.
Sedangkan kerugian negara sebagaimana diatur dalam UU 1/2004 tentang Perbendaharan Negara adalah kekurangan uang surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai.
Sehubungan dengan penghitungan kerugian atas korupsi Timah Rp 271 T dilakukan sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup.
Biaya kerugian tersebut meliputi dana untuk menghidupkan fungsi tata air, pengaturan tata air, pengendalian erosi dan limpasan, pembentukan tanah, pendaur ulang unsur hara, fungsi pengurai limbah, biodiversitas (keanekaragaman hayati), sumber daya genetik, dan pelepasan karbon.
Penghitungan nominal kerugian keuangan negara tersebut telah dilakukan oleh Ahli yang dihadirkan dari Penyidik, yaitu akademisi dari Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB, Bambang Hero Saharjo.
Menurutnya, kasus timah sepanjang 2015-2022 telah menyebabkan kerugian Rp 300 T.
Jumlah itu terdiri dari kerugian lingkungan (ekologis) Rp 157 T, kerugian ekonomi lingkungan Rp 60 T, dan biaya pemulihan lingkungan Rp 5 T.
Selain itu, ada pula kerugian di luar kawasan hutan sekitar Rp 47 T.
Kasus korupsi timah ini ternyata jadi jumlah paling besar kerugian yang ditanggung oleh negara.
Sebelumnya sudah terdapat beberapa kasus mega korupsi dengan kerugian keuangan negara fantastis.
Misalnya, kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), kasus penyerobotan lahan negara untuk kelapa sawit, pengelolaan dana pensiun PT Asabri, dan kasus penyimpangan dana investasi PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri).
Apa Peran Abdullah Azwar Anas Menteri Era Jokowi Dalam Korupsi Laptop? Diperiksa Kejagung |
![]() |
---|
Dugaan Korupsi Dana Hibah KONI Sulsel, Penyidik Kejati Telusuri Penerima dan Penggunaan |
![]() |
---|
Mantan Ketua KONI Sulsel Singgung Yasir Machmud? Sosok Ketua Harus Paham Olahraga |
![]() |
---|
Kejati Usut Dugaan Korupsi Dana Hibah KONI Sulsel, Ellong Tjandra: Wajar-wajar Saja |
![]() |
---|
Daftar Direktur, Komisaris hingga Manager Travel Diperiksa KPK Soal Korupsi Kuota Haji |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.