Opini
Raja Dungu
Ada yang kebaikannya dipahat dalam dinding batu cadas sehingga terus lestari menembus batas waktu.
Oleh: Ilham Kadir
Dosen UNIMEN & Ketua GPMB Enrekang
Setiap kekuasaan memiliki penguasa, dan para penguasa adalah simbol bagi segenap rakyat, tanah tumpah darah, dan filsafat sebuah negara.
Dan sejarah telah membuktikan bahwa penguasa datang dan pergi membawa sejarah dan kisah mereka masing-masing.
Ada yang kebaikannya dipahat dalam dinding batu cadas sehingga terus lestari menembus batas waktu.
Ada pula sebaliknya justru kejahatannya yang diabadikan dari kitab suci hingga buku-buku fiksi agar menjadi pelajaran bagi setiap manusia yang datang kemudian.
Terminologi lain dari penguasa adalah raja, sebab raja secara umum kekuasaannya bersifat absolut, itu dulu, tapi sekarang sebagian raja seperti macan ompong.
Tugasnya hanya mengawasi dan melantik perdana menteri atau presiden, dan tidak lagi memiliki kekuatan militer yang semestinya di bawah kendali raja.
Salah satu contohnya adalah Malaysia, para raja hanya sebagai simbol kekuasaan, yang berkuasa mengatur negara adalah para politisi, bahkan juga mengatur raja, termasuk uang belanja para raja.
Satu lagi raja yang tidak jelas, merupakan antitesa dari raja mancan ompong, yaitu presiden atau perdana menteri yang kekuasaannya melebihi raja sehingga mampu mengatur setiap jengkal dan inci perkara dalam sebuah negara, dari semut sampai gajah, dari tikus sampai singa.
Kekuasaannya dibalut dengan selendang demokrasi, tapi secara substasni cara berkuasanya mencengkram seperi kuku besi.
Setiap yang berlawanannya dengan sang raja akan dibabat habis-habisan, dari akar sampi pucuk, bahkan jika ada yang bernaung di bawah pohon itu, juga akan diusir jika tidak mau jadi penurut.
Raja seperti ini sesungguhnya telah diabadikan dalam Al-Qur’an dengan nama Fir’aun, dan itu akan selalu ada dalam sejarah, dan pada saat yang sama, Allah juga akan mengutus manusia antitesa dari Fir’aun, dan itulah Musa.
Sayang sekali, sebab pendukung Musa jauh lebih sedikit, sebab mereka adalah manusia-manusia yang keluar dari zona nyaman kekuasaan Fir’aun.
Pemimpin Dungu
Dalam sejarah para raja, hanya ada dua jenis raja yang banyak diungkap oleh sejarawan, yaitu raja adil dan raja zalim.
Dan banyak faktor yang menjadikan seorang raja menjadi zalim, namun yang tertinggi adalah ketiadaan ilmu pengetahuan, atau karena jahil, alias bodoh, disebut juga dungu, dalam bahasa Bugis dongo’. Sejak dahulu kala, bahkan pada zaman klasik era Socrates (w. 399 S.M), berkesimpulan bahwa kemuliaan tertinggi adalah ilmu, dan segala jenis kejahatan yang terjadi karena kebodohan.
Kita berbeda beberapa hal, terkait penyebab terjadinya kejahatan di bumi ini—sebab banyak juga kejahatan terjadi karena orang-orang berilmu—tetapi, kita harus sepakat bahwa ‘kebaikan tidak mungkin wujud tanpa ilmu, walaupun ilmu tidak menjamin secara otomatis pemiliknya berlaku baik’, (Wan Mohd Nor Wan Daud, Himpunan Karya Pilihan. Kuala Lumpur, 2022: 221).
Dungu sudah pasti zalim, sebab kedunguan akan melahirkan tindakan kezaliman.
Dan zalim secara bahasa adalah ‘meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya’ antitesa dari adil ‘yang meletakkan sesuatu pada tempatnya, wadh’u asy-sya’i fī mahallihi’.
Itu terjadi karena raja dungu tidak paham mana yang baik dan mana yang buruk, dan sudah pasti tidak mengerti klasifikasi hukum agama: wajib, sunnah, mubah, haram, dan makruh.
Akhirnya, karena kedunguannya, yang wajib dijadikan makruh yang haram dijadikan sunnah. Celakanya lagi, jika raja dungu berkuasa, ia akan menarik semua orang dungu untuk menjadi pembantunya mulai dari penasihat hingga kalangan menteri dan kepala daerah, mereka selanjutnya akan melaksanakan kedunguan berdasarkan titah raja dungu, akhirnya keputusan para menteri dan para pembantunya sarat dengan kesia-siaan bahkan kerusakan berkepanjangan.
Kita dapat buktikan bahwa raja adil atau tidak dungu sudah pasti sarat dengan ilmu, dan semua keputusan-keputusannya penuh dengan pertimbangan ilmu pengetahuan sehingga melahirkan keadilan bagi seluruh rakyatnya.
Orientalis pakar historiografi Melayu, Denisova menjelaskan ciri-ciri raja adil yang ada pada dunia Melayu-Nusantara sejak abad ke-13 hingga abad ke-19, jika melihat pada kitab Tuhfah an-Nafīs.
Bahwa sifat-sifat ‘raja adil’ dapat dirujuk seperti berikut: rupa yang baik, suara yang hebat, budi dan adab yang baik, bahasa yang ikhlas, berani, pahlawan [syahid fī sabilillāh], pemurah, sabar, bijaksana, sederhana [rendah hati], dan asal-usul yang jelas.
Raja adil perlu pandai dalam ilmu ushuluddin, ilmu fikih, ilmu tentara [peperangan], perniagaan, pemerintahan negara dan perundingan.
Raja adil wajib memerintah negeri dengan adil, menghukum secara adil mengikut undang-undang, mengampunkan dosa, bermusyawarah dan bermufakat dengan orang alim.
Memelihara negeri, mengukuhkan negeri, mengawal negeri, meramaikan/membanyakkan negeri, membaiki negeri, memelihara rakyat dan semua isi negara, memelihara harta benda orang, membenci orang jahat.
Meramaikan/memperbanyak perniagaan, mengaturkan rezeki, mengaturkan orang besar-besar, menjaga semua orang besar-besar dan pegawai supaya mereka tidak berbuat jahat terhadap rakyat, jangan tamak akan harta orang dan jangan tamak akan harta dunia.
Dalam bidang agama, raja adil wajib menaati Allah, mengikuti sabda Nabi Muhammad, mengukuhkan agama, membela Islam, berbuat ibadat, melaksanakan amalan secara baik-baik, jangan menukar agama dengan dunia, menuntut ilmu, membangunkan masjid, mengukuhkan akhlak dan mengikuti tarekat, (Tatiana A. Denisova, Refleksi Historiografi Alam Melayu. Kuala Lumpur, 2011: 154).
Jika merujuk pada teori Arnold Joseph Toynbee, Creative Minority in Political Society bahwa it is normal if a civilization grows, develops, and then dies, bahwa itu normal saja jika sebuah peradaban atau pemerintahan tumbuh, bekembang, lalu mati, ( A.J. Toynbee, A Study of History, London: Oxfort University Press, 1961).
Peradaban pasti akan tumbuh jika didasari dengan ilmu, sebab ilmu adalah akar peradaban, dan peradaban adalah buah dari ilmu, sebaliknya kedungan akan menghancurkan peradaban.
Pada titik ini, kita harus paham bahwa raja dungu akan menghancurkan negerinya.
Satu lagi penekanan teori Toynbee, bahwa setelah meneliti 22 peradaban, berksimpulan bahwa setiap peradaban yang berada di ujung tanduk, akan selalu dipimpin oleh Raja dungu dengan segenap pembantu-pembantunya dan rakyat mendukung mereka secara mayoritas, persis seperti Fir’aun.
Namun, ada saja golongan minoritas disebut ‘creatif minority’ yang anitesa dari raja dungu, mereka yang minoritas inilah dengan berbasis ilmu pengetahuan yang justru kelak mampu menumbangkan raja dungu lalu memulai peradaban baru.
Artinya, ketika sebuah negeri dipimpin raja dungu bukan berarti semua rakyat kehilangan harapan.
Allah akan selalu mengutus Musa yang segala aktivitasnya berbasis pada wahyu dan ilmu, sebab hanya dengan ilmu berbasis wahyu peradaban manusia akan berjaya. Namun ilmu disebarkan melalui dakwah dan pendidikan.
Maka tugas da’i dan pendidik dalam menyadarkan umat dan mengedukasi peserta didik agar tidak memiliki pemimpin dungu sangat diperlukan, namun jika da’i dan pendidiknya juga bagian dari raja dungu, maka tunggulah kehancuran di depan mata. Wallahu A’lam!
Merdeka Tanpa Akal: Republik Simbolik dan Pesta Kosong |
![]() |
---|
Melawan Politik Uang: Reformasi Kampanye dalam Revisi Regulasi Kepemiluan |
![]() |
---|
SULSEL KITA, Bertumbuh atau Tertinggal??! |
![]() |
---|
Apakah Suku Toraja Memiliki Kekerabatan Genetik dengan Orang Vietnam? Kajian Antropologi Ragawi |
![]() |
---|
Jauhkan Nalar Kalkulator dari Pilkada |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.