Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Prof Aswanto Blak-blakan DPR Tak Nyaman Kehadiran MK, Hakim Terancam Dilengserkan

Terutama terkait hubungan antara DPR-Pemerintah Pusat dengan Mahkamah Konstitusi (MK).

Penulis: Erlan Saputra | Editor: Saldy Irawan
Kompas.com
Guru Besar Ilmu Hukum di Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof Aswanto. 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2018-2021, Prof Aswanto, prihatin terhadap dinamika politik dan hukum yang sedang terjadi di Indonesia.

Terutama terkait hubungan antara DPR-Pemerintah Pusat dengan Mahkamah Konstitusi (MK).

Hal itu disampaikan dalam Diskusi Forum Dosen yang digelar di Redaksi Tribun Timur, Jl Cendrawasih No 430, Makassar, Kamis (22/8/2024).

Diskusi tersebut mengangkat tema "Putusan MK vs Putusan DPR: Quo Vadis Pilkada 2024".

Menurut Prof Aswanto, sebagai negara hukum (rechtsstaat), baik pemerintah maupun DPR harus menghormati segala aturan yang berlaku. 

Sebenarnya ada lebih mengerikan, yang lebih mengerikan kita kan negara hukum, dalam artian tidak hanya sekadar rechtsstaat, tapi kita adalah rule of Law," kata Prof Aswanto.

Bahwa prinsip negara harus dijalankan berdasarkan hukum, bukan berdasarkan kekuasaan individu atau institusi tertentu.

Lebih lanjut, Aswanto menjelaskan bahwa keberadaan MK adalah untuk mengoreksi keputusan-keputusan.

Utamanya dalam hal pengambilan kebijakan dan penentuan norma-norma dalam perundang-undangan. 

"Itulah sebabnya MK ada, untuk memastikan setiap aturan sesuai dengan konstitusi. Tapi sekarang, kelihatannya DPR merasa tidak nyaman dengan kehadiran MK" ungkapnya.

Dalam diskusi tersebut, Prof Aswanto meyakini bahwa DPR akan tetap melanjutkan agenda legislasi mereka, meski bertentangan dengan putusan MK. 

"DPR akan tetap berjalan dengan keinginan mereka, mengesampingkan putusan Mahkamah Konstitusi. Saya yakin, setelah ini DPR akan melanjutkan perubahan undang-undang tentang MK yang tinggal menunggu diketuk di rapat paripurna," tegasnya.

Prof Aswanto lantas blak-blakan, hakim yang dianggap tidak sejalan dengan DPR tentu akan dievaluasi.

Menurutnya, ada tiga perubahan mendasar dalam revisi undang-undang MK yang akan diteken DPR.

Salah satunya terkait usia minimal hakim MK yang diusulkan menjadi 60 tahun. 

"Hakim yang belum mencapai usia 60 tahun akan diberhentikan dengan hormat. Ini akan berdampak langsung pada Hakim Saldi," jelasnya.

Selain itu, revisi tersebut juga akan mengembalikan hakim MK yang telah menjabat lebih dari lima tahun ke lembaga pengusungnya untuk dievaluasi. 

"Ibu Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, dan Anwar Usman, akan dievaluasi karena masa jabatan mereka lebih dari lima tahun," tambahnya.

Prof Aswanto mengingatkan bahwa perubahan-perubahan ini berpotensi merusak tatanan hukum dan demokrasi di Indonesia. 

Langkah-langkah ini dianggap bisa menghancurkan independensi MK dan membuat hukum kita lebih rentan terhadap intervensi politik.

Walau demikian, guru besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) itu berharap hakim MK tetap berada dalam koridor dan tidak takut terhadap ancaman.

"Saya kira versi ketegangan ini tetap berlanjut, DPR akan melakukan itu. Sehingga bubar kita punya negara. Mudah-mudahan teman-teman di MK, tidak takut karena ancaman perubahan undang-undang itu," tandasnya.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved