Sulsel Pecah Rekor Penduduk Termiskin di Sulawesi, Disusul Sulteng dan Sultra, Sulbar Paling Rendah
Selanjutnya, Sulawesi Tengah (Sulteng) dengan 379.760 orang, Sulawesi Tenggara (Sultra) dengan 319.710 orang.
TRIBUN-TIMUR.COM - Sejumlah penduduk Sulawesi masih miskin alias kurang mampu.
Dari beberapa provinsi di Pulau Sulawesi, Sulawesi Selatan pemecah rekor angka kemiskinan.
Hal itu berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS).
BPS telah merilis jumlah penduduk miskin se-Sulawesi hingga Maret 2024.
Penduduk miskin terbanyak terjadi di Sulsel dengan jumlah 736.480 orang.
Selanjutnya, Sulawesi Tengah (Sulteng) dengan 379.760 orang, Sulawesi Tenggara (Sultra) dengan 319.710 orang.
Sementara Sulawesi Utara (Sulut) dengan 186.850 orang, Gorontalo dengan 177.990 orang.
Lalu paling sedikit Sulawesi Barat (Sulbar) dengan 162.190 orang.
Namun, secara persentase, Sulsel menempati urutan kedua terendah di Sulawesi.
Presentase penduduk miskin di Sulsel adalah 8,06 persen dari total penduduk.
Sulut memiliki persentase sebesar 7,25 persen.
Persentase penduduk miskin terbesar di Sulawesi adalah Gorontalo dengan 14,57 persen, disusul Sulteng dengan 11,77 persen, serta Sultra dan Sulbar yang sama-sama 11,21 persen.
Kepala BPS Sulsel, Aryanto, yang dikonfirmasi pada Selasa (2/7/2024), menjelaskan, jumlah penduduk miskin terbanyak memang di Sulsel karena jumlah penduduk terbanyak di Sulawesi juga berada di Sulsel.
"Jadi, kalau mau lihat data penduduk miskin, jangan lihat jumlahnya tapi lihat persentasenya.
Memang Sulsel terbanyak jumlah penduduk miskinnya, karena juga terbanyak jumlah penduduknya," katanya.
Aryanto menambahkan bahwa pengukuran kemiskinan ini menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar.
Melalui pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur menurut garis kemiskinan.
"Garis kemiskinan terdiri dari dua komponen, yaitu garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan bukan makanan. Garis kemiskinan makanan merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilokalori per kapita per hari.
Sementara garis kemiskinan bukan makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan," jelasnya.
Orang miskin bukan karena malasa berkerja
Sering dikaitkan orang yang malas bekerja hidupnya akan jadi lebih sulit.
Benarkah kemiskininan akibat malas berkerja?
Ilmu Sosiologi membagi dua pandangan sebab kemiskinan.
Pertama, kemiskinan dianggap bersumber dari hal-hal yang berkaitan dengan karakteristik psikologis kultural individu.
Contohnya malas atau tidak punya etos wirausaha.
Kedua, kemiskinan muncul dari faktor-faktor struktural.
Seperti kurangnya kesempatan dan kompetisi yang terlalu ketat atau tidak memiliki modal usaha.
Pakar Sosiologi Universitas Airlangga (UNAIR) Prof. Dr. Bagong Suyanto, Drs., M.Si mengatakan, miskin dan malas tidak berhubungan.
Pasalnya, kemiskinan terjadi karena faktor-faktor yang sifatnya struktural dari pada kultural.
“Kita terbiasa menghakimi orang yang miskin sebagai orang yang malas atau tidak mau bekerja keras. Padahal, jika kita lihat pengemis di pinggir jalan, panas-panas, pakai pakaian badut menari-nari. Itu kan pekerjaan yang berat sebetulnya,” tutur Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNAIR seperti dikutip dari laman Unair (24/10/2021).
Jika dibandingkan, pekerjaan di sektor informal bahkan lebih keras daripada pekerjaan kelas menengah.
Namun karena ketidakmampuan pendidikan ditambah minimnya akses jaringan memaksa kaum miskin untuk bertahan.
Sementara itu, sebuah penelitian yang dilakukan di Indonesia pada 2019 lalu mengungkap, anak-anak dari keluarga miskin, ketika dewasa akan tetap miskin.
Hal itu, jelas Prof Bagong menunjukkan bahwa mata rantai kemiskinan memang sulit diputus.
“Karena keluarga miskin tidak memiliki modal ekonomi yang cukup dan tidak sekolah dengan baik, ujung-ujungnya dia kembali miskin. Peluang mereka untuk naik kelas tidak bisa ditembus karena tidak punya modal sosial dan ekonomi yang cukup,” paparnya.
Dekan FISIP UNAIR itu juga menyampaikan, selain faktor struktural yang tidak ramah, kebijakan pemerintah bersifat meritokrasi.
Di mana belum berpihak untuk melindungi si miskin.
Seperti yang terjadi di Kota Bontang.
Pemda melarang waralaba seperti Indomaret dan Alfamart masuk.
Hasilnya, usaha-usaha kecil dari masyarakat setempat tumbuh.
“Kebijakan meritokrasi itu intinya orang miskin diberi bantuan, soal bagaimana mereka bertahan hidup menghadapi struktur yang kompetitif terserah pada semangatnya orang miskin,” imbuhnya.
Prof Bagong menjelaskan, kemunculan istilah miskin sendiri berkaitan erat dengan stratifikasi (Pengelompokkan anggota masyarakat secara vertikal, Red) dan kesadaran kelas.
Bupati Gowa Husniah Talenrang Raih Gelar Doktor di UMI Makassar |
![]() |
---|
Siapa Sosok Oknum Jaksa Disebut Peras Terdakwa Uang Palsu Annar Sampetoding Rp5 M? Kejati Buka Suara |
![]() |
---|
Honda DBL Roadshow Ajang Kreativitas Pelajar Jelang DBL 2025 South Sulawesi Series |
![]() |
---|
DPRD Sulsel Ultimatum BPN Gowa Konflik Lahan Bendungan Jenelata |
![]() |
---|
Berprestasi di Safety Riding Competition 2025, Asmo Sulsel Apresiasi SMK Nasional Makassar |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.