Opini
Transformasi Durasi Kerja
Perusahaan Jepang pun mengurangi jam kerja, juga makin berikhtiar membangun working environment sehat saat kerja.
Transformasi Durasi Kerja
Oleh: Muh Zulkifli Mochtar
TRIBUN-TIMUR.COM - Saya pernah bekerja di sebuah konsultan di Jakarta beberapa tahun silam.
Kantor di daerah Kuningan, berangkat dari rumah di Cibubur jam setengah enam pagi agar tidak telat.
Setelah istirahat maghrib, biasanya sambung kerja lagi hingga sebelum Isya.
Daerah Rasuna Said saat itu selalu macet, tiba kembali di rumah di atas jam 9 malam.
Tapi Sabtu Minggu libur, meski di akhir pekan terkadang masih saling koordinasi di grup chat kerja.
Rutinitas hampir mirip saat kembali bermukim di Tokyo, kota metropolitan terbesar dunia.
Durasi jam kerja kurang lebih sama.
Kerja mulai jam 8.30. Jadi harus selalu mengejar kereta jam 7.15 dari rumah. Jam kerja normal hingga jam 17.30 sore.
Biasanya lembur sejam, tiba di rumah jam 8 malam.
Jangan kira hari hari libur di Jepang sedikit.
Selain libur musim dingin ‘Oshogatsu’, ada juga liburan panjang Obon Yasumi (summer holiday) di bulan Agustus dan ada libur ‘Golden Week’ di bulan Mei.
Bukannya di Jepang jam kerja jauh lebih panjang? Mungkin saja setiap perusahaan berbeda.
Tapi secara umum memang pergeseran besar pola kerja Jepang dekade belakangan ini.
Juga ada Government’s New Work Style Reform Bill yang disahkan oleh badan legislatif nasional tahun 2018; semacam modernisasi cara kerja ‘hataraki kata kaikaku’ amandemen undang-undang ketenagakerjaan.
Di dalamnya termasuk pembatasan jam kerja berlebihan, agar tidak mengganggu kesehatan.
Perusahaan Jepang pun mengurangi jam kerja, juga makin berikhtiar membangun working environment sehat saat kerja.
Bahkan ada perusahaan yang menyediakan fasilitas olahraga dan pusat kebugaran di kantor misalnya.
‘Sayonara to Long Work Culture’ mungkin kalimat tepat. Tapi, itu juga bukan hal mudah bagi masyarakat Jepang yang sudah terlanjur punya working culture unik.
Satu contoh kecil, hasil survey OECD tahun 2019 rata rata jam kerja guru SD Jepang tertinggi, sekitar 54,4 jam per minggu.
Setelah itu menyusul guru di Inggris 48,3 jam dan Vietnam 43,7 jam.
Menurut The Mainichi, Guru SMP Jepang juga punya jam kerja terpanjang rata 56 jam per minggu, sementara rata rata negara lain 38,3 jam.
Guru SMP Jepang menggunakan waktu persiapan ekstrakurikuler dan pekerjaan administrasi jauh lebih banyak dibanding rata rata 48 negara yang disurvei dalam Teaching and Learning International Survey 2018 tersebut.
Untuk administrasi dan document filing, pekerja Jepang sangat luar biasa detail. Segala sesuatu akan dibukukan maksimal hingga hal sekecil pun.
Jadi sangat mudah traceability jika ada kesalahan.
Ya, pekerja masih merasa berkewajiban tetap memegang teguh loyalitas tim secara keseluruhan. Ujung ujungnya, banyak yang tidak mengambil cuti tahunannya.
“Juga ada gap jelas antar generasi” menurut A. Murai, Head PR Expedia Jepang ditulis WorkLife BBC.
Kesenjangan terlihat dari banyak karyawan lebih muda ingin mengambil lebih banyak cuti, tetapi kurang enak kepada atasan senior mereka yang masih bekerja dengan pola jam kerja panjang.
Durasi jam kerja bukan satu satunya kata kunci.
Ada faktor lain yakni etos kerja. Etos kerja lebih terkait kepada ketekunan, loyalitas, sikap, dedikasi juga kedisiplinan.
Ketika ada yang mendiskusikan tema etos kerja di grup WA teman di Jakarta, keteraturan kerja dan kedisiplinan kita masih beda jauh; mayoritas teman berpendapat demikian.
Malah ada komentar lebih kritis bahwa etos kerja pun tidak cukup.
Moralitas etika kerja juga penting: ditengah berbagai tindakan korupsi, kolusi, nepotisme, penipuan dan tindakan ketidakjujuran belakangan ini.
Menurut sang teman, justru ini point paling penting harus diimplementasikan setiap pekerja kita dalam tugas sehari-hari.
Saya tidak berkomentar lagi, saya yakin arah diskusi pasti akan semakin lebar. Tapi yakin, mungkin ada benarnya juga. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.