Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Idul Adha 2024

Idul Adha 2024: Sah dan Tidak Patungan Beli Hewan Kurban Menurut Buya Yahya

Jangan asal patungan beli hewan kurban Idul Adha, berikut ini penjelasan Buya Yahya terkait sah dan tidak sah patungan beli hewan kurban

freepik.com
ILUSTRASI SAPI KURBAN - Buya Yahya menjelaskan hukum menyembelih hewan kurban sendiri. 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Persiapan menyambut hari raya kurban mulai dilakukan oleh umat muslim.

Di Kota Makassar, Sulawesi Selatan pedagang sapi dan kambing mulai menjamur di sejumlah lokasi.

Pemerintah mengimbau warga lebih jeli memilih hewan kurban.

Ternak dengan pergerakan lincah bisa dikategorikan sehat.

Perlu diketahui jika tak sembarang kerbau, sapi, atau kambing layak di kurban.

Ada beberapa syarat hewan sah dikurbankan.

Syaratnya antara lain tidak cacat, sudah mencapai batasan umur minimal.

Selanjutnya, hewan kurban atau hewan ternak juga harus sehat.

Baca juga: Sejarah Hari Raya Kurban dan Makna Idul Adha Menurut Alquran

Di dalam hadits riwayat Imam Al-Tirmidz, dari Al Bara'bin Azib berkata:

"Aku mendengar Rasulullah SAW sambil beliau memberikan isyarat dengan jari-jarinya, dan jariku-jariku lebih pendek dari jari-jari beliau.

Beliau memberikan isyarat dengan jarinya seraya bersabda; Tidak boleh ada hewan kurban yang buta sebelah matanya yang jelas kebutaannya, sakit yang jelas sakitnya, pincang yang jelas pincangnya, dan kurus yang tidak memiliki sumsum,"

Jadi jelas menurut syarat di atas untuk hewan kurban agar selalu syarat.

Hukum Kurban Secara Patungan

Dalam sebuah tayangan video diunggah di YouTube Al-Bahjah TV pada 29 Juni 2022, Buya Yahya mengatakan mengenai berkurban secara patungan, ada yang hukumnya sah dan tidak sah.

"Dalam patungan hewan kurban ini, ada yang sah dan ada yang tidak sah," ujar pengasuh Lembaga Pengembangan Dakwah dan Pondok Pesantren Al-Bahjah tersebut, sebagaimana dikutip dari video unggahan YouTube Al-Bahjah TV.

Kata Buya Yahya, ada beberapa hal harus diperhatikan yang berujung pada sah dan tidak sahnya kurban.

Hukum patungan, jelas Buya Yahya menjadi tidak sah jika sekumpulan orang berkurban dengan satu kambing.

Dalam hal ini, Buya Yahya mencontohkan kurban dilakukan di lingkungan sekolahan.

"Satu kelas kumpul duit beli satu kambing, kurban dengan satu kambing. Maka demikian ini dianggap tidak sah sebagai kurban," jelas Dai bernama lengkap Prof Yahya Zainul Ma'arif, Lc, MA, PhD tersebut.

Namun meski tidak sah menjadi kurban, sembelihan seekor kambing itu tetap menjadi sebuah pahala untuk menyenangkan sesama di Hari Raya Idul Adha.

Baca juga: Hukum Menyembelih Hewan Kurban Sendiri Menurut Buya Yahya

"Artinya tidak ada kurban patungan (dengan seekor kambing) semacam ini," imbuh Buya Yahya.

"Makanya kalau di SMP SMA ada patungan kurban, itu namanya saja kurban. Tapi (secara hukum) bukan kurban. Tapi jangan dilarang, kan lumayan ada 10 kambing itu."

"Biar tidak jadi kurban, maka ia tetap mendapatkan pahala untuk menyenangkan orang di hari itu dengan sembelihan kambing," sambungnya.

Buya Yahya menambahkan jika sembelihan seperti itu tidak disebut sebagai kurban karena hewan disembelih hanya seekor kambing.

Sementara hewan itu diperuntukkan bagi seluruh siswa dalam satu kelas. "Gak ada satu kambing untuk satu kelas," ujar Buya Yahya sekali lagi.

Sementara itu, patungan kurban dianggap sah, apabila patungan dilakukan semisal tujuh orang mengumpulkan dana untuk membeli seekor sapi.

"Satu sapi tersebut dijadikan kurban untuk tujuh orang tersebut. Maka patungan yang seperti ini adalah sah sebagai kurban," jelas Buya Yahya.

Selain itu, Buya Yahya juga memberikan contoh bagaimana pelaksanaan kurban di lingkungan sekolah agar sah menjadi kurban.

Baca juga: Pemkab Maros Siapkan 2.402 Hewan Kurban

Misalnya saja seluruh siswa dalam satu kelas berpatungan uang untuk membeli seekor kambing.

Lalu kambing itu diberikan kepada salah seorang yang ada di lingkungan sekolah tersebut sebagai kurban atas dirinya.

Maka kurban tersebut sah.

"Kurban diberikan kepada salah satu dari mereka. Dia yang kurban, maka sah jadi kurban. Kita dapat pahala membantu orang berkurban," kata Buya Yahya.

"Jadi kurban-nya hanya satu orang. Satu kambing untuk satu orang," jelasnya menambahkan.

Buya Yahya mengatakan penting untuk menerapkan cara berkurban dengan benar di lembaga pendidikan yang sering melaksanakan kurban.

"Misalnya para siswa di sekolah mengumpulkan dana untuk membeli satu ekor kambing atau satu ekor sapi, kemudian diberikan kepada guru mereka untuk dijadikan kurban."

"Maka kambing atau sapi tersebut sah dianggap menjadi kurban dengan catatan setiap guru diberikan satu kambing, atau satu sapi untuk tujuh guru," kata Buya Yahya.

"Dalam hal ini sang murid memang gak berkurban. Sang murid mendapat pahala besar karena membantu gurunya, dan sang guru mendapat pahala kurban," pungkasnya.

Sejarah Hari Raya Kurban dan Makna Idul Adha Menurut Alquran

Berikut ini makna Idul Adha menurut Alquran, lengkap sejarah dan kisah Nabi Ibrahim AS.

Perayaan Idul Adha merupakan tradisi tahunan oleh umat Islam.

Idul Adha memiliki makna dan sejarah penting dalam hari raya kurban.

Penyembelihan hewan kurban memiliki makna sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang telah diberikan.

Kata "Adha" sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti hewan sembelihan.

Oleh karena itu, dalam perayaan Hari Raya Idul Adha, umat Islam melaksanakan penyembelihan hewan kurban sebagai bentuk pengabdian dan ketaatan kepada Allah SWT.

Di Indonesia, perayaan ini juga dikenal dengan nama-nama lain seperti Lebaran Qurban dan Lebaran Haji.

Hal ini disebabkan oleh alasan bahwa perayaan Idul Adha juga terkait dengan ibadah haji yang terjadi pada bulan Dzulhijjah, di mana orang-orang dari seluruh dunia datang ke Makkah al-Mukarramah untuk menjalankan ibadah haji.

Sejarah Hari Raya Kurban

Selain berkaitan dengan hewan sembelihan, kata Adha pada hari raya ini juga berkaitan dengan sejarahnya loh. Sejarah hari raya Idul Adha bisa ditelusuri hingga zaman Nabi Ibrahim AS dan anaknya, Nabi Ismail AS.

Sejarah penyembelihan hewan kurban ini berawal ketika Nabi Ibrahim AS mendapatkan ilham saat tidur bahwasanya beliau harus menyembelih Nabi Ismail AS pada tanggal 8 Dzulhijjah (hari tarwiyah).

Menurut tafsir Ibnu Katsir, Nabi Ismail AS adalah anak pertama dari Nabi Ibrahim setelah beliau sempat menunggu selama puluhan tahun.

Sempat meragu, akhirnya Nabi Ibrahim AS yakin bahwa ilham dalam mimpi tersebut adalah benar dari Allah S.W.T pada tanggal 9 Dzulhijjah dan menceritakan mimpinya kepada putranya tersebut.

Kisah mengenai mimpi Nabi Ibrahim AS dan dialog beliau dengan putranya tersebut tercantum dalam surat As-shaffat ayat 102 yang berbunyi:

Artinya: Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".

Dengan persetujuan tersebut, maka tekad Nabi Ibrahim a.s telah bulat untuk mengorbankan putranya. Namun, atas kehendak Allah S.W.T, saat proses pengorbanan berlangsung, tubuh Nabi Ismail AS diselamatkan dan diganti dengan kambing gibas.

Cerita mengenai penggantian ini tertuang dalam al quran surat as-shaffat ayat 104-107 yang berbunyi:

Artinya:

Lalu Kami panggil dia, "Wahai Ibrahim! (104) Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu." Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik (105). Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata (106). Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar (107).

Nabi Ibrahim a.s dan Nabi Ismail a.s adalah nenek moyang bangsa Arab. Oleh sebab itu, tradisi penyembelihan hewan kurban ini dipraktikan turun menurun hingga pada zaman Nabi Muhammad S.A.W meskipun hanya sekadar fisiknya saja (tanpa hakikat Idul Adha itu sendiri).

Ketika itu, masyarakat jahiliyyah akan menyembelih hewan kurban untuk berhala-berhala mereka, meletakkan daging hewan kurban di sekitarnya dan memercikkan darah hasil penyembelihan ke berhala-berhala tersebut (NU Online). Hingga kemudian turunlah ayat al quran surat al-Hajj ayat 37 yang berbunyi:

Artinya: “Daging-daging unta dan darahnya itu tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah sama sekali, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.

Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya atas kamu. Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Ayat ini kemudian didukung dengan beberapa hadits secara langsung mengindikasikan bahwa penerimaan Allah S.W.T atas hambanya didasarkan pada keikhlasan hamba tersebut dan bukan berdasarkan besar kecilnya fisik yang dikorbankan.(*)

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved